laman

Senin, 31 Maret 2008

INDUSTRIALISASI :ANTARA PERAN DAN ALTERNATIF KEGIATAN ORGANISASI WANITA ISLAM

Abstrak
Terjadinya proses industrialisasi dinegara-negara berkembang tidak terkecuali di Indonesia membawa perubahan-perubahan yang signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup (quality of life) masyarakat. Walaupun industrialisasi berkaitan dengan proses modernisasi, tetapi tidak selalu melahirkan tingkah modern di dalam masyarakat.
Pada satu sisi industrialisasi membawa kesejahteraan dan kemudahan dalam kehidupan masyarakat, namun pada sisi lain juga membawa kepada persoalan-persoalan. Hal ini dikarenakan telah terstruktur sedemikian rupa dalam sebuah technostructure karena mengejar efisiensi, ketepatan waktu dan persaingan serta orientasi kepada profit yang tinggi, sehingga banyak anggota masyarakat mengalami stress.
Organisasi wanita Islam dalam hal ini, perlu mengambil peran sentral dalam menanggulangi dampak industrialisasi ini. Beberapa peran yang bisa dilakukan antara lain adalah merumuskan visinya tentang masyarakat madani, menyuarakan hati nurani masyarakat, melakukan penyadaran kritis kepada masyarakat, memfasilitasi proses emansipasi sosial.

Key Word : Industrialisasi, Organisasi Wanita Islam

A. Menyongsong Era Industrialisasi dan Informasi
Masyarakat Indonesia seiring dengan beberapa masyarakat yang sedang ber-kembang di Dunia Ketiga lainnya, tengah bersiap-siap untuk melakukan proses industrialisasi. Proses industrialisai ini perlu dilakukan agar terjadi peningkatan kualitas hidup manusia (quality of life) dan agar dapat dibangun suatu peradaban yang maju. Industrialisasi pada dasarnya merupakan proses penerapan metode ilmu dan teknologi di dalam kehidupan masyarakat. Industrialisasi sangat berkaitan dengan proses modernisasi. Tetapi tidak selamanya proses industrialisasi menghasilkan modernisasi, melahirkan sikap dan tingkah laku modern di dalam masyarakat luas. Demikian pula, industrialisasi bukanlah merupakan suatu proses sejarah yang "unlinier", perubahan dari masyarakat agraris tradisional kepada masyarakat industrial modern. Demikian pula tidak semua bangsa dan masyarakat melalui proses yang sama, mengalami intensitas yang sama, kecepatan yang sama serta hasil dan akibat yang sama di dalam proses industrialisasinya.
Menurut Dr. Kuntowijoyo, industrialisasi mempunyai moralitas baru yang me-nekankan pada rasionalisme ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan (equity). Rasionalisme ekonomi, keuangan, dan industri mendorong masyarakat secara bersama-sama dan sendiri-sendiri untuk memaksimalisasikan pencapaiannya dengan memanfaatkan sistem manajemen rasional yang efisien dan efektif. Masya-rakat luas juga memberikan penghargaan kepada sukses, kemampuan pribadi dan kerja keras. Maka untuk memasuki masyarakat industri, bukan saja diperlukan pe-rangkat-perangkat teknologinya, tetapi yang terpenting adalah perubahan kesadaran masyarakat maupun orang perorang. Lebih dari itu? perubahan kesadaran pribadi maupun kelompok tidak selalu sama tingkat kecepatannya dengan perubahan kelembagaan. Oleh karena itu sering terjadi peristiwa "kejutan" dan "ketertinggalan budaya" ("cultural schock dan "cultural lag"). (Kuntowujoyo, 1985, 49 - 66).
Era Industrialiasi di Indonesia hadirnya berbarengan dengan era informasi, yang di berbagai negara maju telah mulai pada sekitar pertengahan tahun 1970-an yang lalu. Pada saat ini, masyarakat dunia tengah memasuki masa revolusi industri ketiga. Sebuah revolusi yang terjadi secara besar-besaran sebagai hasil dari kemajuan di dalam bidang bio teknologi, mikro elektronik, teknologi bahan-bahan serta teknologi informasi. Berbagai penemuan baru tersebut telah merubah secara besar-besaran di dalam cara produksi di bidang industri. Mulai dari penggunaan kalkulator elektronik untuk melakukan “'quality control”, "programming" dan "stock replacement” sampai dengan penggunaan robot dalam proses produksi. Di dalam pekerjaan perkantoran yang bersandarkan kepada kecepatan arus informasi di dalam menjalankan me-kanisme administrasi dan birokrasi, pada saat ini telah dilakukan dengan sangat efisien, berkat penemuan mikro elektronik. Kemajuan di bidang mikro elektronik ini telah me-nyebabkan perubahan secara besar-besaran kerja perkantoran dan konsep manajemen. Kombinasi dari telekomunikasi dan komputasi/teknologi informatika, telah melahirkan sebuah " te1ematik ". Pada saat ini seseorang dapat berbicara ten-tang ketidak tergantungan terhadap jarak (distance independent) dalam sistem komunikasi yang menunjukkan tingginya kecepatan dan murahnya biaya komunikasi. Data elektronik dan bank data, pada saat ini telah berkembang dengan pesat. Dampak dari kemajuan telematik ini sangat jelas, pada bidang penyuntingan surat khabar dan majalah, akses pribadi kepada jaringan informasi internasional dan perkembangan jaringan komunikasi internasional seperti jarinqan TV, Radio, pencetakan jarak jauh? telephoto dan lain-lain. Cable TV dan “viewe data system" yang pada saat ini tengah berkembang juga merupakan hasil dari telematik ini.
Kehidupan rumah tanggapun dalam dasa warsa terakhir ini tidak luput dari perkembangan teknologi informatika ini. Oleh karena murahnya microcircuits dan microprocessor, maka rumah-rumah tangga di berbagai kalangan telah dapat meman-faatkan mini komputer dan berbagai personal computer. Denqan dikembangkannya jaringan komputer pribadi di rumah tangga tersebut dengan jaringan internasional, maka akan terjadi perubahan dalam kehidupan keluarga.
Demikianlah, oleh karena meluasnya pemanfaatan teknologi modern, telah timbul fenomena baru di da1am bidang komunikasi dan informasi, bidang organisasi sosial kemasyarakatan, serta di bidang proses produksi baik di dalam pabrik, kantor maupun rumah tangga. Kita dapat melakukan suatu perbandingan sederhana antara perkembangan mutakhir dalam era informatika ini dengan revolusi industri pada abad ke 19 yang 1alu . Revolusi industri yang terjadi pada dua abad yang lalu lebih ber-dasarkan pada teknologi elektro mekanik yang kurang lebih merupakan pengem-bangan "kekuatan otot" manusia. Sedangkan revolusi informatika pada masa revo-lusi. industri ke tiga ini lebih merupakan pengembangan “kekuatan otak” manusia, yang berupa kemampuan processing, memori dan kemampuan komunikasinya.
Mikro elektronik dengan demikian telah menjadi basis bagi apa yang disebut dengan "era informatika”. Ini merupakan suatu tahapan da1am perkembangan pe-radaban kita, dimana arus informasi dalam berbagai bentuknya (mulai dari kontrol kualitas produksi sampai dengan media massa) merupakan pusat dari kegiatan manusia. Bahkan menurut futurolog Daniel Bell di dalam tulisannya "Post Industrial Society", sebagaimana yang dikutip oleh John Naisbitt di dalam bukunya “Megatrends" bahwa di dalam masyarakat purna industri, maka informasi merupakan sumber daya yang strategis (strategic resource). Bahkan informasi merupakan sumber daya yang paling penting. Sementara di dalam masyarakat industri moda11ah yang menjadi sumber daya utamanya, sehingga dia1am masyarakat industri hanya sedikit orang yang memiliki akses terhadap sumber daya ini. Sedangkan di dalam masya-rakat informasi, sumber daya ini dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
Bahkan dari segi jenis pekerjaan boleh dikatakan bahwa semua pekerja pro-fesional merupakan pekerja informasi ("information workers"): sekretaris, computer programmer, guru, muballigh/at, penasehat hukum, pekerja sosial, insinyur, systems analysts, dokter, arsitek, akuntan, pustakawan, wartawan, maupun para imam dan khotib, Di dalam masyarakat informasi, kerja profesional antara lain berupa pen-ciptaan, pengolahan dan distribusi informasi.
B. Dampak Sosial Budaya Dari Industrialisasi Dan Revolusi Informasi
Untuk memasuki era industrialisasi perlu dilakukan upaya persiapan sosial dan budaya (social and cultural preparation), selain harus dilakukan upaya pemilihan kebijakan tentang model dan proses industrialisasi itu sendiri. Sebagai bangsa yang akan melakukan industrialisasi di belakang bangsa-bangsa yang telah maju lainnya, bangsa Indonesia mampunyai kesempatan untuk balajar dari pengalaman bangsa-bangsa yang telah maju dengan berbagai hasil capaiannya beserta dampak negatif yang ditimbu1kannya.
Pada kasempatan ini dikemukakan beberapa dampak nagatif dari proses industrialisasi maupun revolusi informasi, untuk diantisipasi penanggu1angannya dan dicari jalan keluarnya sarta dilakukan pemilihan model-model dan metodanya yang terbaik. Sekaligus dapat dijadikan bahan pemikiran untuk merumuskan peran sentral dan panyusunan program aksi bagi organisasi sosial keagamaan wanita.
Salah satu persoalan yang menonjol di dalam masyarakat industri adalah seluruh kehidupan telah terstruktur sedemikian rupa dalam sebuah “technostructure", karena mengejar efisiensi, ketepatan waktu dan persaingan yang tinggi serta orientasi kepada perolehan keuntungan yang tinggi, maka banyak anggota masyarakat yang mengalami stress. Lebih dari itu, manusia merasa tidak berdaya menghadapi struktur yang besar yang ia bangun sendiri. Seluruh kegiatan dan gerak hidupnya tidak lagi di dalam kekuasaannya untuk mengaturnya secara sadar. Rasa ketidak berdayaan ( po-werkessness) ini pada akhirnya akan menimbu1kan rasa keterasingan eksistansial (alienation) dan kehilangan makna hidup. Oleh karena di dalam masyarakat industri tingkat penderitaan stress, depresi bahkan bunuh diri sangat tinggi.
Situasi penuh persaingan yang menimbulkan stress ini kemudian melahirkan prilaku kekerasan (violence). Budaya kekerasan (Culture of violence) ini di tambah perkembangannya oleh penerbitan dan penayangan pornografi serta sadisme dan horor. Kekerasan ini dapat barupa kakerasan sosial, pamaksaan masyarakat terhadap kebijakan, keputusan dan peraturan maupun tatanan masyarakat yang tidak se1a1u berorientasi kepada kepentingan masyarakat banyak dan terutama masyarakat bawah. Kekerasan budaya, kekerasan teknik dan kekerasan pisik. Penganiayaan suami ter-hadap istri, anak terhadap ibu, perampokan dan pemerkosaan terhadap wanita dan anak-anak di bawah umur. Di dalam konperensi Puncak Sedunia untuk Anak-anak di PBB pada akhir bulan September 1990 yang lalu dilaporkan meningkatnya tindakan kekerasan terhadap anak-anak di seluruh dunia. Di negara industri modern seperti Amerika, pada tahun 80-an yang 1alu di1aporkan adanya kematian anak-anak karena dibunuh o1eh orang tuanya sendiri sejumlah 4000 anak. Sementara itu jumlah orang tua yang disiksa o1eh anaknya sendiri sekitar 6.000.000 orang.
Bentuk kekerasan tehnik (technical violence) yang merupakan puncak dari kekerasan sosia1, budaya, maupun kekerasan ideo1ogi ada1ah berupa peperangan semenjak perang dunia II diperkirakan telah terjadi lebih dari 120 kali peperangan yang telah menyebabkan matinya 19 juta manusia. Lebih dari 60% dari korban perang tersebut adalah penduduk sipil. Analisa lain yang memakai definisi pe-perangan yang lebih luas, melaporkan semenjak tahun 1945 s.d 1982 telah terjadi tidak kurang dari 277 kali peperangan di dunia. Hampir seluruh peperangan tersebut terjadi di negara Dunia Ketiga, kecuali 18 peperangan, 15 buah peperangan terjadi antar neqara, 62 kali peperangan berupa konflik perbatasan, dan 200 kali peperangan (72 %) berupa perang saudara. Sebuah studi yang lain memperkirakan se1ama 40 tahun terakhir ini te1ah terjadi 192 kali peperangan yang melibatkan 27 ribu tentara. Peperangan tersebut telah menelan korban 51.000.000 orang sipil dan militer, termasuk mereka yanq terluka, tertawan dan hilang. Peperangan tersebut juga telah menyebabkan 49.000.000 orang menjadi pengungsi baik internal maupun inter-nasional .
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebut perang nuklir sebagai penyakit menu1ar yang terakhir. Apabi1a perang nuk1ir terjadi, maka akibatnya tidak terba-yangkan yaitu pemusnahan ummat manusia berikut peradaban dan 1ingkungannya. Peperangan yang telah terjadi selama ini, telah pula menimbulkan kerusakan ling-kungan hidup, pergerakan dan perubahan dalam pola kependudukan dan pola pemukimannya. Bergeraknya massa pengungsi dan orang-orang yang terusir dari negaranya serta kehilangan tempat tinggal, dapat menimbulkan tekanan demografis atas tanah dan mempercepat erosi serta kerusakan lingkungan hidup lainnya.
Percobaan senjata nuklir telah menimbulkan pencemaran udara dan laut serta mempengaruhi perubahan cuaca dan iklim. Demikian pula per1ombaan senjata (arms race) te1ah menya1ahgunakan sumber pembangunan untuk keperluan pembuatan senjata pembunuh dan perusak. Pada tahun 1986, ketika PBB menyatakan sebagai Tahun Perdamaian Internasional, justru pada saat itu pembe1anjaan dunia untuk persenjataan mencapai puncaknya yaitu sejum1ah US $ 900 billion. Dengan demikian setiap bulan masyarakat dunia membelanjakan US $ 75 billion untuk persenjataan, setiap hari US $ 2.465,753.400,-, setiap menit US $ 1.712.329- dan setiap detik US $ 20.539,-. Dan itu berarti pada tahun 1986 yanq lalu, pembelanjaan persenjataan dunia sebesar sepertiqa dari pendapatan nasional (GNP) seluruh Dunia Ketiga yang dihuni oleh 70 X seluruh penduduk dunia.

C. Peranan Sentral Organisasi Wanita Islam
Untuk dapat mengambil peranan sentral di dalam menyongsong era industri-alisasi, maka yang pertama-tama harus di1akukan o1eh organisasi wanita sosial keagamaan adalah merumuskan kemba1i visi (nadzoriyah) dan misi ( risalah) yang diembannya serta kepedu1ian utamanya sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan sosia1 budaya yang dihadapinya. Menurut rumusan Lembaga Relawan PBB (The United Nations Volunter Service) dalam lokakarya regional Asia-Pasifik tentang "Peranan Pemuda di dalam Meningkatkan Pembangunan yang Partisipatif" pada bulan Desember 1989 di Kuala Lumpur, disebutkan bahwa syarat bagi efek-tifitas organisasi kepemudaan antara lain adalah:
1. Harus mempunyai rumusan tujuan dan sasaran yang jelas dan spesifik,
2. Harus mandiri (independent) ,
3. Harus terorganisasikan secara baik (dengan kepemimpinan yang baik, fleksi-bi1itas untuk me1akukan penyesuaian diri dengan berbagai perubahan situasi, de-mokratis dan accountable),
4. Harus kohesif dan memiliki kesadaran organisasi serta kepekaan sosial. Untak itu, maka organisasi wanita perlu melakukan penyadaran diri (self awareness rising), perumusan dan artikulasi diri (self articulation) dan actua1isasi diri (self actualization) sesuai dengan panggilan sejarah dan tantangan zamannya.
Sehubungan dengan terjadinya perubahan yang cepat dan multi dimensi, maka peran utama organisasi wanita Islam yang pertama adalah merumuskan visi-visi barunya tentang "masyarakat madani” dalam proses industrialisasi.
Organisasi wanita Islam perlu terus melakukan artiku1asi permasa1ahan yang dihadapi oleh kaum wanita di da1am masyarakat industri. Sehingga dapat mem-berikan pedoman dan panduan (guide lines) bagi masyarakat luas dan anggotanya. Sebagian penyebab dari kurang menariknya beberapa organisasi kemasyarakatan antara lain karena kurang artiku1atifnya organisasi tersebut. Atau artikulasinya kurang menyentuh permasalahan yang mendasar yang dihadapi oleh kaum wanita, khususnya dilingkungan masyarakat miskin, rentan dan marjinal.
Peran utama yang kedua dari organisasi wanita Islam adalah "untuk menyua-rakan hati nurani mereka yang tidak bersuara" ("the voiceless"). Melakukan advokasi sosial dengan memberikan kepedulian terhadap kaum dhu'afa yang terdiri dari kaum wanita yang dikurangi dan dilanggar hak-haknya, kaum ibu-ibu dan anak-anak yang menjadi korban dari kekerasan sosia1, kekerasan budaya dan kekerasan tehnik. Dan melakukan pendampingan sosial agar mereka dapat menolong dirinya sendiri dan untuk mengangkat harkat dan martabatnya.
Peran yang ketiga, melakukan penyadaran kritis (critical awareness building) kepada masyarakat. Suatu proses penyadaran yang sistematis lewat barbagai media dan tehnik, agar masyarakat manyadari potensinya dan mampu mengidentifikasikan masalah dalam proses industrialisasi dan mampu memecahkan masalah mereka sendiri serta mampu mengaktualisasikan diri mereka.
Peran yang keempat adalah menfasilitasi proses emansipasi sosial. Organisasi wanita Islam bekerja sama dengan sesama organisasi wanita Islam menjalin kersama dengan berbagai organisasi lainnya, melakukan “net working" dan membangun jalinan kerja di bidang sumber daya, penelitian, pendanaan, pelatihan, program aksi dan informasi. Pengorganisasian masyarakat serta jaringan kerja ini perlu untuk menfasilitasi suatu proses emansipasi sosial. Oleh karena itu, di dalam menyongsong era Industrialisasi, organisasi wanita Islam perlu mempersiapkan diri untuk me-lakukan pendakian yang tinggi.
D. Beberapa Alternatif Kegiatan dalam Menyongsong Era Industrialisasi
Dengan menyadari betapa per1unya untuk mengantisipasi proses indus-trialisasi ini, pertama-tama organisasi wanita Islam perlu mengembangkan program peningkatan kua1itas hidup manusia. Peningkatan kua1itas hidup tersbut antara 1ain adalah dengan pengembangan sumber daya manusia (human development).
1. Pengembanqan Ketenaga Kerjaan
Mengingat tingginya jumlah angkatan kerja usia muda dan wanita, maka ma-salah ketenaga kerjaan pada saat ini dan waktu-waktu mendatang perlu menjadi prioritas utama.
2. Dokumentasi, Komunikasi dan Informasi
Dalam menghadapi era informasi yang membarengi era industrialisasi, maka pembinaan kesadaran informasi serta kemampuan komunikasi untuk emansipasi sosial perlu dikembangkan. Untuk itu dapat dilakukan berbagai kegiatan di bidang pangembangan Dokumentasi, komunikasi dan informasi. Pada saat ini misalnya telah berkembang berbagai model latihan di bidang komunikasi sosial dan informasi untuk pengembangan masyarakat. Latihan-latihan ini antara lain meliputi:
a. Jurnalistik Jama'ah, Pedesaan / Perkotaan
1) Pengenalan terhadap berbagai bentuk dan model jurnalistik pedesaan/ perko-taan, terutama yang dapat dibuat dan dilakukan oleh masyarakat sendiri.
2) Perencanaan penerbitan Jurnalistik pedesaan / perkotaan.
3) Proses produksi Jurnalistik pedesaan / perkotaan.
4) Manajemen penerbitan Jurnalistik pedesaan / perkotaan.
b. Multi Media
1) Flexiplan : penggunaan media serba guna secara partisipatif
2) Fotonovella: pembuatan cerita/berita yang menarik dan komunikatif dengan menyusun foto-foto
3) Poster: penyampaian informasi dan pesan-pesan yang jelas dan menarik dengan gambar dan tulisan singkat
4) Media Jembatan Bambu: pemecahan masalah dan parencanaan partisipatif dengan mempergunakan gambar-gambar yang menarik
c. Media Elaktronika
1) Kaset Suara
2) Program Radio
3) Slide Suara
4) Program Video dan Film
d. Teatar
Dengan berbagai latihan yang meliputi antara lain :
1) Ekspresi diri
2) Ekspresi gerak
3) Ekspresi emosi
4) Ekspresi konflik
5) Ekspresi vokal
6) Ekspresi musik
7) Penulisan naskah
8) Pementasan
Dapat pula dilakukan berbagai kegiatan teater boneka dan lain-lain. Menarik juga untuk mengembangkan perpustakaan jama'ah di lingkungan wanita pekerja, baik untuk anak-anak, remaja maupun wanita dewasa.
3. Pendidikan Konsumen
Salah satu dari budaya yang menonjol pada masyarakat industri adalah bu-daya konsumerisme. Melimpahnya benda dan jasa yang ditawarkan dipasar, deras-nya arus iklan yang menarik masyarakat untuk melakukan konsumsi tinggi, ber-kembangnya model "gengsi-gengsian" sehingga masyarakat berlomba untuk mem-beli produk yang sebenarnya tidak diperlukan. Demikian pula banyaknya barang-barang komoditi yang dapat menimbulkan bahaya (makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika dll) dan berbagai jasa yang ditawarkan kepada masyarakat, sementara konsumen tidak tahu hak-haknya yang dilindungi hukum dan tidak dapat membela kepentingannya, sehingga konsumen selalu berada di dalam posisi yang sangat lemah di depan produsen maupun pengecer. Oleh karena itu program pendidikan konsu-men dan juga pengorganisasian kelompok konsumen merupakan program yang menarik dalam era industrialisasi.
4. Pendidikan Pembangunan
Pendidikan pembangunan di dalam masyarakat industri meliputi tiga hal seka-ligus. Pendidikan Kependudukan, Pendidikan Lingkungan Hidup dan Pendidikan Per-damaian. Dua macam pendidikan pembangunan yang pertama (pendidikan ke-pendudukan dan lingkungan hidup sudah banyak dilakukan oleh berbagai kelompok organisasi sosial keagamaan), sedang pendidikan perdamaian yang merupakan isu yang sangat penting di dalam masyarakat industri ini, kurang mendapat perhatian. Di dalam masyarakat industri dan informasi, baik karena terbawa oleh kerasnya per-saingan, proses alienasi dan dehumanisasi yang lebih luas, serta berbagai perkem-bangan media pornografi dan sadisme, maka berkembang juga bentuk-bentuk kekerasan. Kekerasan sosial, kekerasan budaya, kekerasan struktural maupun kekerasan tehnik. Dan kebanyakan orang tua (Manula), wanita dan anak-anaklah yang menjadi korban dari berbagai bentuk kekerasan tersebut. Untuk itu perlu dikembangkan pendidikan perdamaian yang marupakan bagian dari pendidikan pembangunan. Pendidikan perdamaian pada dasarnya adalah model pendidikan yang melakukan penyadaran diri, pembentukan nilai, sikap tingkah laku, serta kemampuan analisis dan kecakapan tehnik di dalam menghadapi masalah-masalah perdamaian, seperti kekerasan, ketidak adi1an, perusakan lingkungan, penye1esaian konflik secara damai, kerja sama antar berbagai kelompok sosial, suku, bangsa dan budaya (me-ngembangkan budaya "salaam”).
Pendidikan perdamaian dalam perspektif ini sekurang-kurangnya mempunyai beberapa karakteristik:
a. Pendidikan perdamaian (bersama kependudukan dan lingkungan hidup). Ini mem-pergunakan dunia ("globe") ini sebagai unit analisis yang utama. Dengan pan-dangan bahwa permasalahan kemanusiaan dewasa ini bersifat struktural dan saling berjalin berkelindan. Dengan kata lain, bahwa bahaya ketidak adilan sosia1, po1itik dan ekonomi, kemiskinan, peperangan dan kerusakan lingkungan hidup itu akan mempunyai pengaruh terhadap manusia di seluruh dunia. Permasalahan ini mengatasi batasan disiplin ilmu pengetahuan maupun batasan kebangsaan dan harus dilakukan bersama-sama secara holistik.
b. Pendidikan perdamaian (bersama kependudukan dan lingkungan hidup) ini sangat peduli terhadap nasib manusia, mereka yang pada saat ini menghuni planet bumi ini maupun mereka yang akan dilahirkan sebagai generasi mendatang. Dengan demikian pendidikan perdamaian ini bersifat futuristik, mengupayakan model pembangunan yang adil dan berkelanjutan (sustainable deve1opment) .
c. Pendidikan perdamaian ini bersifat padat nilai dan berorientasi kepada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur (value loaded dan Value oriented), sebab ia meng-upayakan pengurangan dan penghapusan ketidak adilan dan kesenjangan sosial serta berbagai bentuk kekerasan di semua peringkat. Dalam hal ini nilai-nilai ke-manusiaan yang luhur yang berdasarkan wahyu Ilahi merupakan orientasi utama bagi pendidikan perdamaian ini.
5. Wisata Kultural-Reliqius
Pariwisata merupakan industri yang akan berkembang dimasa depan. Per-kembangan pariwisata ini antara lain disebabkan oleh: a. Meningkatnya pendapatan masyarakat, sehingga mereka dapat menabung untuk keperluan rekreasi, b. Semakin luasnya waktu luang (pada akhir pekan, liburan semester atau cuti tahunan dll), c. Semakin banyaknya fasilitas transportasi, komunikasi dan penginapan, camping ground dll, d. Semakin banyaknya penawaran paket wisata murah, e. Semakin ber-kembangnya informasi (lewat TV, Maja1ah, radio) tentang berbagai tempat dan budaya, sehingga menarik masyarakat untuk dapat mengunjunginya (berwisata).
Untuk itu perlu dikembangkan program model wisata kultural religius yang beraspek pendalaman penghayatan dan pengkayaan nilai-nilai kultural religius, baik bagi wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara.
6. Pendampingan Sosial
Program pendampingan sosial ini dapat dilakukan terhadap berbagai kelompok sosial dengan berbaqai titik masuk (entry-point) yang relevan dan yang merupakan kebutuhan nyata dalam masyarakat.
Pendampingan sosial ini pertama-tama ditujukan kepada kelompok masyarakat rentan dan marjinal seperti : masyarakat miskin di perkotaan (urban squaters), petani wanita, buruh wanita, nelayan wanita, pembantu rumah tangga, anak-anak yang terlantar, Manula, penderita cacat. Pendampingan sosia1 ini terutama ditujukan untuk meng-angkat harkat dan martabat mereka serta memberikan kemampuan (empowering) kepada mereka agar dapat mandiri.
Salah satu model sederhana yang dapat dikembangkan, misalnya model pen-dampingan anak-anak dengan orang tua tunggal (single parent) maupun anak-anak yang sering mendapat perlakuan kekerasan dari orang tuanya antara lain berupa pendampingan persaudaraan. Di mana pendamping sosial menyediakan sebagian waktunya, satu atau dua jam dalam satu minggu untuk menemani dan membimbing anak-anak tersebut dengan membacakan cerita, membawa berja1an-ja1an ke1uar rumah, atau sekedar mene1pon untuk menyapa maupun bercakap-cakap. Dan masih banyak model dan cara lain untuk meno1ong bagi orang 1ain yang menderita.
7. Kelompok Diskusi dan Studi
Salah satu kegiatan yang manarik bagi remaja dan pemuda yang sedang tinggi rasa ingin tahu, semangat artikulasi serta daya kritis dan dinamikanya adalah berupa kelompok studi dan diskusi. Oleh karena cepatnya perubahan sosial budaya dalam masyarakat industri, maka berbagai pengkajian perlu di1akukan. Setidak-tidaknya tersedia forum untuk berbagai ide, kepedu1ian dan pangalaman serta rencana-rencana bagi orang-orang muda. Suatu forum untuk melakukan artikulasi dan ekspresi diri secara eksistensial.
Kelompok studi ini dapat melakukan studi yang mendalam, dengan turun ke lapangan, misalnya meneliti kehidupan pedagang asongan, wanita tukang bangunan, ibu pedagang sayur, pembantu rumah tangga wanita, wanita buruh tani dll. Atau dapat mendiskusikan beberapa kasus yang beritanya dimuat di dalam majalah atau surat kabar.
8. Refleksi Teologis
Untuk memberikan akar yang mendalam dan sumber nilai serta spiritualitas bagi gerakan wanita Islam, nampaknya semakin diperlukan perenungan dan refleksi imani/teologis terhadap berbagai masa1ah sosial yang berhubungan dengan wanita. Gerakan wanita di dalam era industrialisasi modern menghadapi berbagai persoalan yang lebih rumit di banding dalam masyarakat agraris tradisional. Oleh karena itu diperlukan pula landasan dan visi serta perspektif teologis yang lebih mendalam, bukan saja dari segi sah dan batal suatu tindakan atau halal dan haramnya sesuatu.
9. Manajemen Organisasi Nirlaba
Berkembangnya lembaga swadaya masyarakat dan berbagai organisasi nirlaba (nonprofit, organisation) dan keterlibatan mereka dalam gerakan partisipasi sosial dalam pembangunan masyarakat, telah melahirkan berbagai model dan tehnik ma-najemen khusus bagi gerakan kemasyarakatan yang tidak berorientasi mencari keuntungan tersebut. Model manajemen ini merupakan a1ternatif dari model-model manajemen industri dan manajemen parusahaan yang lahir bersama proses in-dustrialisasi di Barat. Organisasi ini lebih berorientasi kepada pendampingan sosial untuk memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk berdiri sendiri. Model manajemen ini lebih bersifat partisipatif dengan semangat berbagi dan pengabdian.
Kalau selama ini banyak organisasi kemasyarakatan yang mengadopsi model manajemen perusahaan yang diterapkan pada organisasi kemasyarakatan, maka sudah saatnya bagi lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi wanita Islam untuk mengembangkan model manajemen gerakan yang sesuai dengan visi dan misi serta program aksinya.
Sama halnya dengan manajemen perusahaan, manajemen gerakan organisasi nirlaba ini juga meliputi masalah, kepemimpinan, pengelolaan sumber daya (ma-nusia), manajemen tenaga relawan, pengelolaan program dan proyek, pemasaran produk organisasi nirlaba, pendanaan organisasi nirlaba, manajemen keuangan or-ganisasi nirlaba, dinamika kelompok, hubungan dengan pihak dampingan, penge-lolaan waktu dan lain-lain yang berdasarkan filsafat dan model gerakan organisasi kemasyarakatan.
E. Khotimah
Era industrialisasi merupakan keniscayaan yang tidak mungkin dapat dielakkan dan ditentang. Dengan demikian organisasi-organisasi kewanitaan memerlukan reformulasi gerakannya, sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap anggotanya dalam memasuki era industrialisasi secara radik dan cerdik.
Namum demikian sudah barang tentu pada setiap tahap perkembangannya perlu penyesuaian dan pengembangan. Sesuai dengan dinamika perkembangan era industrialisasi dan informasi yang hadir secara berbarengan.









DAFTAR RUJUKAN
Abdu1l ah, Muhammaad Khouj, DR, Education in Islam , The Is1amic Center, Washington, DC .1987
AI-Asy'ari, Abu Bakar, Tugas Wanita dalam Islam, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga, Jakarta, 1981
Brown, Lester R, dan Wolf, Edward C, A Sustainable Society: the Challenge for World Leadership, dalam Breakthrough, Vol. 9, No, 1-3, Global Education Associates, New York, 1988
Fakih, Mansour dan Topatimasang, Roem , Biarkan Kami Bicara, Panduan Latihan Komunikasi Pengembanqan Masyarakat, P3M, Jakarta, 1988
Fanani, Ahmad dan Hasyim, Musthafa W, Menerobos Masyarakat Industri, Tantanqan Generasi Muda Islam, Sha1ahuddin Press, Yogyakarta, 1985
Hassan., Prof, DR. Riffat, Teologi Parempuan Dalam Tradisi Islam, da1am Ulumul Quran, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol.1, Lem baga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, 1990
Ihromi,T0., Wanita Sebagai Penerus Nilai-nilai kepada Generasi Muda, dalam "Prisma" , No, 5, Tahun IV, LP3ES, Jakarta, 1975
Jacob, Prof. DR. T, "Manusia, Ilmu dan Teknologi, Pergumulan Abadi dalam Perang dan Damai" PT, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta,, 1988
Jones, Lynne, "women in the Shadow of Debt", dalam "CCPD for a Change", No, 2, CCPD, Geneva, 1989
Karl , Marilee, ''Integrating Women into Multinational Development”, da1am ''Women's Internationa1 Bu1letin'' , N o . 24, ISIS, Geneva, 1982
King, Ursula, "The Spiritual Herritage of Wowan", dalam "Ilmu Dan Budaya" ,, tahun VIII, No, 4, Universitas Nasional, Jakarta, 1986
Kuntowijoyo, DR, “Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia”, Shalahuddin Press, Yogyakarta., 1985
Naisbitt, John dan Aburden, Patricia, "Megatrends 2000: Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 199O-an", Seri Ringkasan Bagi Eksekutif, Warta Ekonomi, Jakarta, Cetakan keempat
Obenhous, Victor, "Ethic for an Industrial Age". Harpar and Raw, New York, 1965
PRIA, "Empowering Women ; Organisational Models", dalam "Woman in Acti-on". No, 2., ISIS International Woman's Journa1, Geneva , 1989
Romero, Rene, "Educating for Peacs in an Interdependent World", dalam "Social Alternatives", Volume 9, No. 2, Queensland, 1990
Sjahrir, Kartini, "Wanita : Beberapa Catatan Antropologis", dalam "Prisma". No. 10, tahun XIV, LP3ES, Jakarta 1985
Sirikanchana, Pataraporn, "Mother Divine : The Lady of Peace", dalam "Seed of Peace". Vol. 3, No. 3, Thai Inter-Religious Commission for Development, Bangkok, 1987

Soepangat, DR. Parwati, "Pengaruh Perkembangan Psikologi Wanita terhadap Perilaku Wanita Masa Depan", dalam "Warta Studi Perempuan”. No. 1-2, PDII, Jakarta 1989
Vriens, Lennart, "Peace Education in the Nineties, A Reappraisal of Values and Options" dalam "Peaca. Environment and Education", No. 1, Autumn, Sweden, 1990

Modernisasi Dan Pembangunan Masyarakat

I. Pendahuluan
Faktor penting dalam modernisasi adalah terjadinya perubahan dalam masyarakat. Modernisasi tidak akan terjadi jika perubahan dalam masyarakat tidak terjadi. Perubahan pada hakekatnya adalah dinamika kehidupan bagi manusia sebagai makhluq Tuhan maupun makhluq sosial. Manusia sebagai makhluq sosial selalu melakukan interaksi untuk saling memenuhi kebutuhan dalam rangka ke-langsungan hidupnya. Perubahan dapat terjadi akibat interaksi yang dilakukan oleh individu baik direncanakan maupun tidak.
Perubahan yang direncanakan dengan sengaja dikenal dengan istilah pengembangan atau pembangunan. Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersiapkan manusia dalam menghadapi imperatif perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pengembangan sebagai upaya untuk menghadapi tantangan yang terjadi di masya­rakat secara terencana sudah banyak dikaji sehingga telah ditemukan banyak model pengembangan, antara lain model pengembangan dengan perencanaan dari bawah yang dikenal dengan bottom up planning atau perencanaan partisipatif. Dalam perencaan model ini masukan dari pelaksana kegiatan sangat dibutuhkan, sedangkan model pengembangan dengan perencanaan dari atas yang dikenal dengan top down planning, rencana langsung dibuat oleh pengambil kebijakan dan tidak membutuhkan masukan dari para pelaksana kegiatan.
Model pengembangan dengan perencanaan partisipatif banyak menarik minat bagi pengembang masyarakat, karena model pengembangan tersebut menitik beratkan pada kebutuhan masyarakat. Sementara pengembangan yang didasarkan perencanaan dari atas banyak mengandung kelemahan dan mendapat kritikan, karena pengembangan tersebut hasilnya kurang dapat dirasakan oleh masyarakat yang dikembangkan. Bahkan banyak kritikan tajam antara lain dikemukakan oleh Chambers (1987) yang ditujukan kepada para ahli, peneliti, birokrat, sarjana dan mereka yang terlibat dalam pembangunan, karena mereka pada dasarnya adalah "orang luar" yang tidak dapat merasakan masalah yang dirasakan oleh masyarakat terutama di daerah pedesaan, dan kurang dapat memahami penerapan teknologi bagi pembangunan pedesaan. Bahkan meng-anggap orang desa tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang pembangunan.
Pengkajian teori pengembangan masyarakat telah pula menemukan beberapa matra yang dapat mempengaruhi proses pengembangan masyarakat. Menurut Andrist (1992) matra tersebut antara lain ialah: sumber, metode, tingkat, arah dan luas atau cakupan.
Sumber daya manusia sebagai salah satu matra pengembangan masyarakat perlu mendapatkan perhatian, karena manusia disamping obyek pengembangan juga sekaligus sebagai subyek pengembangan. Sebagai obyek pengem­bangan mereka menjadi sasaran didik bagi lembaga pendidikan baik pendidikan per-sekolahan maupun pendidikan luar sekolah. Dalam mengembangkan sasaran didik dalam lembaga pendidikan luar sekolah diperlukan satu strategi sehingga pe-laksanaan program pendidikan luar sekolah dapat mencapai sasaran sesuai dengan cita-cita pengembangan masyarakat. Demikian pula sebagai subyek pengem-bangan, mereka harus dibekali seperangkat pengetahuan sikap dan ketrampilan agar dapat berpartisipasi secara penuh dalam pengembangan masyarakat. Pem-bekalan tersebut juga dapat diberikan melalui berbagai jenis program pendidikan formal (sekolah) maupun pendidikan non fomal (luar sekolah).
Modernisasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan atau pem-baharuan. Pembaharuan mencakup bidang-bidang yang sangat banyak. Bidang mana yang akan diutamakan oleh suatu masyarakat tergantung dari kebijaksanaan penguasa yang memimpin masyarakat tersebut (Soekanto, 1990:386).
Modernitas tiap orang berbeda-beda, tergantung di masyarakat bagaimana orang itu hidup. Modernitas individu yang dimiliki oleh masyarakat cenderung tinggi bila masyarakatnya sudah maju. Modernitas cenderung rendah bila masya-rakatnya belum maju (tradisional). Oleh karena itu ada dua konsep modernitas, yaitu modernitas masyara­kat dan modernitas individu.
Lancarnya proses modernitas individu maupun modernitas masyarakat sangat tergantung pada keadaan masyarakat itu sendiri. Jadi, pandangan yang konstruktif terhadap inovasi baru dapat mempercepat proses modernitas. Apabila individu atau masyarakat bersifat terbuka terhadap hal-hal baru, maka ada kecenderungan proses modernitas itu akan berlangsung secara cepat.
Dalam masyarakat modern yang dinamis, transformasi tata nilai merupakan suatu proses yang harus dilakukan secara terus menerus, dalam arti bahwa ma-syarakat terus menerus berusaha memahami makna dari berbagai perubahan yang terjadi beserta akibat-akibat yang ditimbulkannya dalam kehhidupan. Buchori (1992) menegaskan bahwa pemahaman mengenai implikasi sosial dari perubahan-perubahan ini selanjutnya merupakan suatu landasan untuk mengidentifikasi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada tata nilai yang lama, dan merancang perubahan-perubahan tata nilai yang sedang berlaku untuk melahirkan tata nilai baru atau nilai yang diperbaharui yang lebih sesuai dengan persoalan yang terdapat dalam masyarakat.
Modernitas individu dapat dipandang dari empat dimensi perilaku dengan korelasi sikap yang analogis: (1) pencarian informasi, (2) perencanaan dan inves-tasi, (3) partisipasi multi sistem, dan (4) keinovatifan (Waisanen dalam Brembeck, 1973:101). Empat dimensi ini merupakan satu kesatuan dan pengembangan, misalnya, pencarian informasi adalah syarat menuju ke perencanaan dan investasi; perencanaan adalah syarat menuju ke partisipasi multi sistem, dan seterusnya. Empat dimensi ini paralel dengan beberapa fungsi pendidikan yang berbeda (pendidikan persekolahan atau pendidikan luar sekolah), yaitu: (1) fungsi kesadaran, (2) fungsi perolehan keterampilan, (3) fungsi partisipasi, dan (4) fungsi penelitian yang didasarkan pada pencarian ide-ide baru yang bersifat inovatif.
Walaupun konsep modernitas individu ini telah ada, tetapi masih perlu dikaitkan dengan suatu kerangka kerja yang saling berhubungan secara teoritis dan efisien. Konsep tersebut diharapkan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, sehingga teori-teori yang ada dapat dipraktekkan dalam kehidupan individu dan masyarakat.
II. Permasa1ahan
Cakupan permasalahan yang dihadapi berhubungan dengan perubahan masyarakat sangat banyak, namun dalam tulisan ini ada beberapa pertanyaan yang akan dibahas menyangkut dengan pengembangan masyarakat, diantaranya adalah:
1. Apakah Hakikat modernisasi?
2. Apakah hakikat perubahan masyarakat?
3. Bagaimanakah paradigma pembangunan masyarakat?
4. Apakah dimensi-dimensi pengembangan masyarakat?
III. Pembahasan
A. Hakikat Modernisasi
Modernisasi merupakan istilah populer yang merupakan salah satu ben-tuk perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Perancis.
Hans Dieter Evers 1973 (dalam Taliziduhu Ndraha, 1990:5) mengemu-kakan bahwa modernisai adalah proses penerapan ilmu pengetahuan yang meliputi semua segi kehidupan manusia pada tingkat yang berbeda-beda; pertama di dunia Barat, kemudian berbaur dalam dunia lainnya melalui berbagai cara dan kelompok dengan tujuan utama untuk mencapai taraf ke-hidupan yang lebih baik dan lebih nyaman dalam arti seluas-luasnya, se-panjang dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan.
Modernisasi adalah suatu proses aktivitas yang membawa kemajuan, yakni perubahan dan perombakan secara asasi mengenai susunan dan corak suatu masyarakat dari statis ke masyarakat yang dinamis, dari tradisional ke rasional, dari feodal ke kerakyatan dan lain sebagainya dengan jalan meng-ubah cara berfikir masyarakat sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi segala aparat dan tatacara semaksimal mungkin (Endang Saifuddin Anshari, 199O:230-231).
Modernisasi secara jelas dapat diidentikkan atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Artinya proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja yang rasional. Dengan demikian, sesuatu itu dapat disebut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan berkesesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam (Nurcholish Madjid, 1989). Dari pengertian modernisesi yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan modernisasi adalah untuk melakukan perubahan kearah kemajuan dalam segala aspek kehidupan manusia.
Dengan modernisasi menurut Deliar Noer, suatu masyarakat dituntut agar: (a) melihat ke depan bukan melihat ke belakang, (b) memiliki sikap yang dinamis dan aktif, bukan sikap menunggu, (c) memberikan perhatian khusus kepada waktu terutama kepada ruang bagi rasionalitas, bukan pada perasaan-perasaan atau asumsi-asumsi, (d) mengembangkan suatu sikap yang terbuka terhadap pemikiran dan hasil-hasil penemuan ilmiah, (e) memberi­kan prioritas kepada hal-hal yang telah dicapai oleh seseorang, bukan kepada statusnya yang diakui, (f) memberikan perhatian yang terbesar kepada persoalan- persoalan langsung yang lebih konkrit dan yang lebih mendunia, (g) melibatkan dirinya kepada tujuan-tujuan yang mengatasi tujuan-tujuan golongan (Muhammad Kamal Hasan, 1987-s 2O) .
Kata "modernity" (Inggris) berarti pembaharuan (Echol dan Shadily, 1993:386). Jadi, inti pengertian modern adalah sesuatu yang baru (Gazalba, 1973:10). Secara harfiah, kata modern adalah sesuatu yang baru menggan-tikan sesuatu yang lama berlaku, seperti rumah modern, pakaian modern, lagu-lagu modern (Zaini, 1989:19).
Aplikasi dari modernisasi dapat berbentuk modernitas individu maupun modernitas sosial. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang modernisasi, maka modernitas dapat diartikan seperangkat ciri-ciri atau karakteristik orang yang dapat membuat orang lebih sukses dimasa yang akan datang. Seperangkat karakteristik yang membuat dirinya dinamis itu disebut modernitas individu. Zaini, (1989:21) mengemukakan bahwa mo-dernitas individu adalah seuntai nilai, sikap dan tingkah laku yang membentuk kepribadian seseorang dan membuatnya aktif dan dinamis untuk mengem-bangkan hidupnya secara mandiri di dalam masyarakat yang semakin kom-pleks. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang dapat dikatakan modern adalah orang yang mempunyai nilai, sikap dan tingkah laku yang menunjukkan kepribadian yang dinamis dan aktif. Dengan ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Inkeles dan Smith (1979:19—25) sebagai berikut:
1. Terbuka terhadap pengalaman baru
2. Kesiapan menerima perubahan sosial
3. Cenderung memperoleh/memiliki pendapat-pendapat baru
4. Aktif mencari fakta dan informasi
5. Efficacy atau percaya atas kemampuan manusia
6. Berorientasi pada perencanaan, yaitu memiliki perencanaan yang jelas da-lam hidupnya
7. Berorientasi ke masa depan dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya
8. Percaya pada kalkulabilitas teknik dan keadilan distributif
9. Memiliki aspirasi pendidikan dan pekerjaan modern
10. Menghormati martabat orang lain
11. Memahami rasional produksi dalam industri
12. Selalu bersikap optimis dan tidak lekas menyerah terhadap keadaan dan tantangan yang dihadapi
13. Aktif dalam kegiatan politik dan sosial
14. Cenderung senang hidup di kota
15. Keyakinan terhadap agama lemah.
Ciri-ciri yang melekat pada individu yang bersangkutan menjadikan individu tersebut mengambil sikap dan melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kemajuan, apakah untuk kemaslahatan dirinya (modernitas individu) ataupun untuk kemaslahatan orang lain (masyarakat). Jika moder-nitas pada masing-masing individu dalam suatu masyarakat telah mulai, maka lama kelamaan modernitas individu tersebut dapat menjadi modernitas sosial/ masyarakat. Selain itu jika dalam suatu kelompok masyarakat telah mem-punyai ciri-ciri yang mengarah kepada kemajuan masyarakat, maka dalam kelompok masyarakat tersebut sudah terjadi pembaharuan (modernisasi).
B. Hakekat Perubahan
Perubahan pada hakekatnya adalah dinamika kehidupan bagi manusia maupun makhluk-makhluk yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, selalu mengadakan interaksi untuk saling memenuhi kebutuhan dalam rangka kelangsungan hidupnya.
Menurut Karl Manheim, sebagaimana dikutip Susanto (1979: 182), mengemukakan bahwa:
A changing community is not determined by a set of unshakable commonds, but is engaged in permanent search for new norms to express changing experi­ences. The content of conscience is accordingly not ditermined by explicit and final rules but is continuosly shaping its self a new
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, inti dari perubahan masyarakat adalah perubahan norma-normanya, di mana perubahan norma dan proses pembentukan norma merupakan inti dari kehidupan mem-pertahankan kesatuan kehidupan kelompok. Berbeda dengan konsep per-ubahan menurut Soemardjan (1974:487) bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat. Perbedaan ke dua pengertian tersebut terletak pada proses perubahan, kalau Manheim menekankan perubahan itu terjadi dalam proses pembentukan norma dalam masyarakat, sedangkan menurut Soemardjan menekankan pada proses yang terjadi di dalam lembaga kermasyarakatan. Dengan demikian menurut Soemardjan, perubahan masyarakat ditentukan dalam lembaga kemasya-rakatan.
C. Pengembangan Masyarakat
1. Hakekat Pengembangan
Pengembangan pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersi-apkan manusia mengahadapi perubahan. Pengembangan berkonotasi perubahan, selalu melekat pada diri manusia. Oleh karena itu senang atau tidak, direncanakan atau tidak perubahan akan tetap berjalan dan selalu dihadapi, karena perubahan pada hakekatnya adalah dinamika kehidupan bagi manusia sebagai makhluq Tuhan. Manusia sebagai makhluq Tuhan yang dibekali akal budi dan juga sebagai makhluq sosial yang selalu mengadakan interaksi untuk saling memenuhi kebutuhan dalam rangka ke-langsungan hidupnya.
Terdapat dua pilihan bagi manusia dalam menghadapi perubahan, pertama membiarkan perubahan itu terjadi sesuai dengan kodratnya dan manusia menerima perubahan secara alamiah. Pilihan kedua manusia berusaha untuk menyongsong perubahan itu dengan tekad untuk tetap bisa menguasai arah, mutu serta terpeliharanya tujuan hidup (Soetjipto Wiro-sarjono, 1992).
Apabila pilihan kedua yang diambil, maka manusia perlu dibekali pengetahuan yang siap digunakan untuk mengantisipasi arah dan tujuan perubahan tersebut. Pembekalan pengetahuan pada manusia dapat dila-kukan melalui pendidikan. Pendidikan adalah komponen yang mendasar dalam usaha perubahan sosial secara mikro. Pendidikan secara eksternal diarahkan pada proses di mana individu belajar untuk menerapkan pe-ngetahuan kognitif, afektif dan psikomotor dalam lingkungannya (La Bella, 1976:18). Tujuan pendidikan diarahkan untuk memungkinkan partisipasi belajar cara baru untuk memanipulasi lingkungan sosial dan fisiknya. Dengan demikian sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan suatu kendaraan yang penting bagi perubahan sosial dan proses pembangunan bangsa"(La Bella, 1976:20).
Berkaitan dengan masalah pengembangan, banyak konsep yang membahas tentang hakekat pengembangan masyarakat. Salah satu dian-taranya ialah konsep yang mengemukan bahwa pengembangan masyarakat dengan perencanaan yang berasal dari bawah atau bottom up, atau istilah lain dengan pengembangan partisipatif. Konsep pengembangan ini didasarkan pada wawasan, bahwa pengembangan itu harus berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Konsep tersebut sebenarnya sudah lama dikenalkan oleh para ahli, tetapi penyebaran dan pelaksanaanya sa-ngat lambat. Konsep tersebut disamping mempunyai kelebihan, juga memi-liki kelemahan. Salah satu kelemahan yang patut disadari ialah karena konsep tersebut dikembangkan oleh kalangan ahli yang berasal dari ke-lompok menengah keatas. Menurut Cambers (1983), para ahli, peneliti, birokrat, sarjana dan mereka yang terlibat dalam pembangunan merupakan "orang luar" yang kurang dapat merasakan kemiskinan di pedesaan dan kurang dapat memahami teknologi pembangunan pedesaan dan bahkan menganggap orang desa tidak memiliki pengetahuan. Para pengembang masyarakat lebih menekankan pada konsep teori yang dianggapnya paling benar. Sebagai konsekwensinya pembangunan tidak dapat berjalan karena tidak cocok dengan situasi pedesaan tersebut. Dan bahkan lebih fatal lagi, banyak proyek yang dilaksanakan hanya menguntungkan para perencana, sedangkan hasilnya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat penerima pro-yek.
2. Paradigma Pembangunan Masyarakat
Pembangunan masyarakat yang pada mulanya diarahkan pada pem-bangunan materi terjadi pada abad ke 18. Pada masa ini orang menganggap bahwa perkembangan materi sebagai suatu yang diminati dan bisa terlak-sana (Andrist, 1992). Pemikiran yang semakin banyak dianut orang, mula-mula dicetuskan oleh Adam Smith dengan usaha meningkatkan kondisi kehidupan bagi bangsa Inggris. Perkembangan selanjutnya dengan mun-culnya teknologi industri, mengakibatkan berkembangnya kapitalisme. Karl Marx sebagai penganut Hegel tidak terlalu tertarik pada angka besar dan bahkan menentang kapitalisme, bukan karena kapitalisme itu me-ningkatkan taraf hidup, melainkan kapitalisme telah menciptakan "keku-atan-kekuatan produksi yang lebih massal dan lebih kolosal dibandingkan dengan yang dapat diraih oleh generasi-generasi sebelumnya secara bersama-sama". Sementara Marx memproklamirkan pemikiran tentang pengembangan kekuatan produktif manusia, dan transformasi produksi materi menjadi kekuatan alam. Cendikiawan lain seperti John S. Mill mulai melontarkan keragu-raguan mereka. Mill mengaku tidak tergiur oleh pandangan orang tentang kehidupan yang menganggap bahwa ciri manusia normal adalah perjuangan untuk memperoleh apa yang diinginkan, dan bahwa sikap saling menginjak, saling menyikut dan saling memanfaatkan yang merupakan ciri kehidupan sosial waktu itu. Namun dalam dekade berikutnya pengembangan materi di Barat sudah mulai beralih pada pemikiran alokasi sumber daya yang efisien, seperti perdagangan bebas versus proteksi, dan masalah distribusi pendapatan.
Dalam dekade pasca perang dunia II, muncul istilah pembangunan ekonomi dalam rumusan dunia barat mengenai cita-cita mereka memba-ngun dunia pasca perang. Sebagai suatu cita-cita, ide tersebut menjadi bagian dari program para pemimpin pergerakan kemerdekaan menentang dominasi barat, yang menurut istilah Rustow (Andrist, 1992), sebagai gerakan pendorong yang disebut "nasionalisme reaktif". Dalam piagam PBB pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu sarana untuk me-ningkatkan standar hidup, meningkatkan lapangan kerja dan perekonomian serta untuk memajukan dan membangun masyarakat.
Pembangunan ekonomi menurut Myrdal (Andrist, 1992) tidak seke-dar peningkatan standart hidup Jasmaniah; pembangunan ekonomi berarti manjadi "manusia baru” dan "manusia modern". Pertumbuhan ekonomi di-anggap sentral, karena kebebasan untuk memilih alokasi dan distribusi ba-rang dan jasa merupakan syarat bagi tercapainya kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa. Pada tahun 1950-an di saat pembangunan ekonomi umumnya disamakan dengan pertumbuhan ekonomi, maka pem-bangunan ekonomi lebih difokuskan pada faktor-faktor penentu perubahan ekonomi.
Salah satu faktor yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi adalah pembentukan modal, sehingga negara berkembang sulit mening-katkan pertumbuhan karena kekurangan modal. Sampai sekitar tahun I960-an, para ahli ekonomi termasuk Maddison ternyata mempunyai kesimpulan lain, bahwa faktor modal dan faktor lainya seperti kerja, hanya sedikit saja kegunaannya untuk menjelaskan adanya perbedaan dalam laju pertum-buhan ekonomi. Ada satu "faktor residu" yang besar yang berpengaruh pada modal manusia khususnya perkembangan teknik. Pengertian menge-nai "investasi manusia" dengan tekanan pada pentingnya pendidikan dan faktor budaya, merupakan langkah pertama menuju paham pembangunan dilihat dari segi yang tidak bersifat ekonomi semata.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya berkaitan dengan masalah modal, tetapi juga masalah ma-nusianya sebagai sumber daya. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka pendidikan merupakan salah satu kunci, disamping budaya yang dimiliki setiap bangsa yang sedang membangun. Sedangkan untuk membangun budaya untuk menjadi manusia modern melalui transformasi budaya, yaitu: (1) perbaikan mengenai substansi dan tatanan nilai-nilai (perbaikan tekstual) dan (2) perbaikan mengenai cara-cara menanamkan (menginternalisasikan) tata nilai nasional ke dalam diri bangsa dengan ja-lan perbaikan secara nyata.
Perbaikan pertama merupakan langkah formulatif, sedangkan perbaikan ke dua merupakan langkah edukatif. Untuk melakukan perbaikan tekstual diperlukan sikap terbuka, namun kritis, terhadap budaya-budaya asing (toleransi kultural) serta pemahaman yang mendasar (apresiasi intelektual) terhadap peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di dunia dewasa ini dan di masa mendatang. Tanpa kedua landasan ini tidak mungkin untuk mengadakan perbaikan tekstual yang berarti terhadap tata nilai yang dianut secara nasional. Perlu disadari bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya mencintai nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyangnya.
Kecintaan terhadap nilai luhur yang disertai sikap kritis akan me-mungkinkan terjadinya modifikasi atau modernisasi terhadap nilai luhur tersebut dalam rangka memasuki zaman modern tanpa kehilangan makna. Langkah edukatif untuk memperbaiki tata nilai nasional secara aktual perlu mendapat kritik yang mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan nilai diberbagai lingkungan pendidikan.
Kesenjangan antara nilai tekstual dan aktual pada dasarnya meru-pakan kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan. Kesenjangan ini terjadi karena dalam praktek pendidikan selalu diutamakan pengetahuan tentang nilai-nilai dan kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan untuk mencintai dan mengamalkan nilai.
Kurang berusaha mengembangkan kemampuan melihat nilai-nilai secara non personal. Sementara ini banyak prasangka yang merintangi hubungan dengan kemiskinan desa pada umumnya, dan dengan keme-laratan pada khususnya. Terdapat enam prasangka yang sangat menonjol, yaitu: prasangka keruangan, prasangka proyek, prasangka kelompok sasaran, prasangka musim kemarau, prasangka diplomatis dan prasangka profesional (Chambers,1983: 17—32). Prasangka-prasangka tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, prasangka keuangan, di mana pembangunan banyak menekankan pada orang kaya dan menjauhi orang miskin. Pembangunan yang diuta-makan untuk kenyamanan bagi wisatawan pembangunan desa. Akibatnya timbullah prasangka yang mendahulukan daerah perkotaan, seperti pem-bangunan terminal, jalan raya.
Kedua, prasangka proyek paling jelas dapat dilihat pada proyek pameran, seperti proyek pencontohan atau desa binaan dengan dukungan tenaga dan dana yang lebih dari cukup, diikuti para peserta yang sudah diajari dan tahu apa yang harus dikatakan dan letaknya tidak terlalu jauh dari kantor pusat. Pemerintah pusat memang memerlukan proyek tersebut dalam rangka mempersiapkan informasi tentang keberhasilan pembangunan yang telah dicapai.
Ketiga, prasangka kelompok sasaran, timbul akibat dari penggalian infor-masi yang hanya menekankan pada orang-orang dari golongan elit, me-ngutamakan pada kaum pria dibanding dengan kaum wanita, mengu-tamakan orang-orang pemakai jasa dan penerima gagasan baru serta men-dahulukan orang yang aktif sedangkan orang tidak aktif karena jompo, sakit, dan lain-lain tidak mendapat perhatian.
Keempat, prasangka musim, merupakan gejala yang umum ditemukan karena wisatawan pembangunan turun cendereung pada musim panen menjelang musim kemarau. Kemiskinan relatif tidak banyak ditemukan di pedesaan. Demikian pula mereka juga jarang turun pada musim hujan karena takut menanggung resiko kehujanan dan terjebak di jalan berlumpur.
Kelima, prasangka diplomatis, timbul akibat dari rasa segan para pejabat desa untuk menunjukkan kemiskinan yang sebenarnya. Demikian pula orang kota merasa segan mengadakan dialog dengan orang miskin karena rikuh dan masih ditambah lagi adanya hambatan yang berupa sikap sopan santun dan rasa malu yang dimiliki orang desa.
Keenam, prasangka profesional, secara umum spesialisasi profesi dengan segala keunggulannya menyulitkan seseorang untuk memahami keseng-saraan. Hal ini disebabkan karena latihan yang diberikan bukan masalah yang menyangkut kemiskinan, sehingga mereka sulit untuk melihat (buta) terhadap keadaan di luar 1ingkungannya. Orang beranggapan bahwa setiap pengetahuan tentang nilai secara otomatis akan diikuti oleh pengamalan dari nilai tersebut. Padahal kenyataanya tidaklah demikian, rangkaian peristiwa psikis yang menghubungkan pengetahuan dan pengamalan merupakan mata rantai yang terdiri atas enam peristiwa psikhis, yaitu : kognisi, afeksi, konasi, volisi, motivasi dan praxis (pengamalan). Hu-bungan peristiwa tersebut bersifat berurutan, dan peristiwa satu dipisahkan dengan lainnya oleh hambatan. Selama hambatan tersebut tidak dapat ditembus, maka pengetahuan tidak akan diikuti oleh pengamalan.
Dalam rangka menganalisis fenomena-fenomena sosial terdapat empat paradigma (Barrel dan Morgan, 1978: 21) yang masing-masing menunjukkan persepsi perbedaan yang mendasar dalam menganalisis fenomena tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam paradigma secara sungguh-sungguh dimulai dari sudut pandang yang berbeda serta kesim-pulan nyata dari perbedaan konsep dan alat analisis yang digu­nakan. Keempat paradigma tersebut adalah sebagai berikut:
1) Paradigma fungsional (functional paradigma)
Paradigma ini merupakan kerangka kerja paling dominan untuk meng-hasilkan sosiologi akademik dan studi organisasi. Pola pemikiran paradigma ini merupakan karakteristik untuk memberikan penjelasan tentang status quo, tatanan sosial, konsensus, integrasi sosial, kohesi, solidaritas, kebutuhan akan kepuasan, dan aktualisasi.
Pendekatan fungsional untuk ilmu sosial cenderung mengasumsikan bahwa dunia sosial berusaha mengubah relativitas peninggalan penga-laman kongkrit serta keterkaitannya untuk dapat diidentifikasi, dipela-jari, dan diukur melalui pendekatan-pendekatan yang berasal dari ilmu alamiah (natural sciences).
2) Paradigma interpretif (interpretive paradigm).
Paradigma interpretif memberikan informasi dengan tujuan memahami dunia apa adanya (world atitis), memahami alam yang mendasar pada dunia sosial pada tingkatan pengalaman subyektif. Paradigma interpretif menjelaskan di dalam alam kesadaran individu dan subyektifitas dengan kerangka kerja dari partisipan sebagai lawan dari observ­er dari tindakan-tindakanya.
Sosiologi interpretif diarahkan untuk menangani esensi-esensi kejadian dunia sehari-hari. Dari analisis schema tergambar tanggung jawab melalui keterlibatan dengan isu hubungan dalam bidang-bidang: status quo, tatanan sosial, konsensus sosial, integrasi sosial dan kohesi, solidaritas dan aktualisasi.
3) Paradigma radical humanis (the radical humanist para­digm)
Paradigma radikal humanis didefinisikan dengan memperhatikan pe-ngembangan sosiologi perubahan radikal dari sudut pandang subyek-tivitas. Ini merupakan suatu pendekatan untuk ilmu-ilmu sosial yang lazim digunakan bersama-sama dengan interpretif paradigma. Menurut pandangan ini perspektif dunia sosial di mana cenderung menjadikan nominalist, anti positivist, voluntaris, dan ideographic. Bagaimanpun juga kerangka acuan itu terikat pada pandangan masyarakat di mana pene-kanan terhadap pentingnya transenden keterbatasan keberadaan tatanan sosial.
Dari unsur selanjutnya kita coba melihat konsep sosiologi perubahan radikal, dimana aliran humanis radikal menempatkan secara tegas di atas perubahan radikal, modes of domination, emansipasi, deprivasi dan potensialitas. Di dalam analisisnya ditegaskan tentang: konflik struktural, model dominasi, kontradiksi dan depripasi.
4) Paradigma structural radikal (The structuralist radi­cal paradigm) .
Radikal strukturalis, meliputi perubahan radikal, emansipasi potensialitas di dalam analisisnya ditegaskan tentang: konflik struktural, model dominasi, kontradiksi dan depresipasi. Pendekatan ini secara unvum bermuara dari suatu sudut dengan kecenderungan menjadi realist, posi— tivist, determinist dan nomothetic.
Ditegaskan bahwa fakta perubahan radikal ditumbuh-kembangkan ke dalam kondisi alamiah serta struktur masyarakat kontemporer dan berupaya memberikan penjelasan dari keterkaitan hubungan yang men-dasar dalam kontek formulasi sosial.
3. Dimensi Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendahuluan adalah merupakan perubahan yang direncanakan, maka dimensi perubahan sosial/masyara­kat juga merupakan dimensi bagi pembangunan msyarakat. Adapun dimensi tersebut antara lain: sumber, metode, tingkat, arah dan luas atan cakupan.
a) Sumber perubahan
Perubahan masyarakat tidak mungkin terjadi begitu saja me-lainkan melalui sumber-sumber tertentu, sehingga dapat menggerakkan masyarakat untuk mengikuti perubahan yang terjadi. Sumber-sumber tersebut antara lain ialah: keyakinan, organisasi dan penemuan tekno-logi.
Supaya terjadi perubahan, maka orang harus diyakinkan bahwa perubahan yang dilakukan dapat memperbaiki keadaan dan taraf hidup masyarakat. Tanpa usaha memberikan keyakinan tersebut, anggota masyarakat mengalami kesulitan untuk mengikuti arus perubahan. Un-tuk membuat masyarakat yakin terdapat perubahan perlu pengaturan strategi melalui suatu organisasi. Dengan demikian orga­nisasi meme-gang peranan penting dalam menyusun strategi perubahan yang dike-hendaki. Di samping perubahan melalui sumber organisasi dan keya-kinan atau ideologi yang bersifat politis, penemuan teknologi meru-pakan sumber perubahan yang bersifat non politis. Penemuan teknologi baru dapat pula memacu perubahan masyarakat, misalnya daerah ter-belakang yang selama ini hanya mengenal teknologi pedesaan yang kurang dapat menghasilkan produksi pertanian secara optimal, setelah mengenal teknologi maju, maka mereka dengan semangat tinggi meng-ikuti perubahan yang sedang berlangsung.
b) Metode perubahan
Perubahan dapat terjadi dengan spontan, artinya perubahan terse-but terjadi tanpa pengarahan manusia secara sadar dan sebaliknya per-ubahan dapat pula terjadi karena carnpur tangan manusia melalui ke-kuatan organisasi yang diarahkan secara sadar pada tujuan tertentu. Perubahan yang diarahkan baik oleh kekuatan politik, ekonomi, maupun kekuatan birokrasi menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat secara luas. Model-model perubahan ini dipengaruhi oleh metode yang diper-gunakan, misalnya kelompok revolusioner menggunakan kekerasan un-tuk menggugah massa yang bersifat apatis dalam rangka menghadapi kelompok elit yang menentang perubahan. Dilema yang dihadapi oleh kelompok revolusioner adalah bahwa kekerasan itu sering kali mening-katkan penolakan terhadap perubahan. Berbeda dengan kelompok revolusioner, kelompok reformis mempunyai pandangan bahwa per-ubahan harus terjadi melalui sarana-sarana yang lebih bertahap. Tidak berbeda dengan kelompok revolusioner, kelompok reformis juga me-miliki dilema yaitu bahwa pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan dapat memberikan kesan adanya perubahan tanpa menjurus kearah perubahan yang sebenarnya.
Strategi yang berbeda digunakan oleh kelompok puritan dan ke-lompok quaker pada abad ketujuh belas di Inggris dalam melakukan perubahan menggunakan organisasi dan kekerasan di satu pihak dan spontanitas dan non kekerasan di pihak lain.
c) Tingkat perubahan
Dimensi lain dari perubahan adalah derajat kecepatan. Setiap ma-syarakat pasti mengalami perubahan, tetapi derajat kecepatan perubahan tersebut berbeda, ada masyarakat yang derajat kecepatannya tinggi ada pula derajat kecepatannya rendah. Pada masyarakat pertanian tradisional sebagian mengalami perubahan dalam sekala cepat, tetapi terbatas pada perubahan yang berkaitan dengan fertilitas (kelahiran), pubertas, per-kawinan dan mortalitas (kematian), di samping itu juga terdapat mobi-litas sosial maupun geografis tetapi terbatas. Sebaliknya masyarakat modern memungkinkan mengalami perubahan jauh lebih cepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kece­patan perubahan tersebut antara lain ialah: datangnya teknologi maju, metode baru mengenai pengorgani-sasian dan ideologi yang dominan.
d) Arah perubahan
Arah perubahan masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu arah ke depan dan arah ke belakang. Arah perubahan ma-syarakat ke depan adalah perubahan yang dilakukan para pimpinan un-tuk menciptakan suatu masyarakat baru dan sistem politik baru yang sebelumnya tidak ada. Sedangkan arah perubahan ke belakang ialah perubahan yang dilakukan para pimpinan untuk mengembalikan tipe masyarakat dan negara yang ada di masa lalu. Arah perubahan masya-rakat dapat diklasifikasikan dalam empat tipe gerakan, yaitu:
Pertama kelompok revolosioner melakukan gerakan, agar yang terakhir menjadi yang pertama. Gerakan ini nampaknya timbul akibat adanya sebagian masyarakat yang merasa dirugikan, kemudian bangkit dalam sistem sosial, untuk menciptakan pemerataan kekuasaan, keka-yaan dan prestise dalam kelompck-kelompok sosial.
Kedua adalah kelompok reformis, di mana para pemimpin menca-ri peluang bagi individu-individu untuk memperoleh mobilitas sosial.
Ketiga ialah kelompok konservatif, merupakan suatu kelompok yang mengusahakan perubahan-perubahan yang terbatas dalam sistem stratifikasi sosial, Kelompok tersebut sebenarnya hanya ingin melaku-kan penyesuaian-penyesuaian kecil dalam proses untuk memperoleh prestise sosial dalam masyarakat.
Keenpat adalah kelompok reaksioner, di mana para pemimpin kelompok tersebut ingin memulihkan sistero stratifikasi hirarkhis yang kaku dan elites yang telah runtuh.
e) Luas atau cakupan perubahan
Pemahaman terhadap perubahan sosial tidak dapat diterima sepe-nuhnya tanpa menganalisis cakupan atau luas perubahan yang me-nyangkut derajat perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dari gerakan utama yang menimbulkan perubahan sosial, revolusi meru-pakan gerakan yang menimbulkan perubahan yang luas. Sedangkan pembaharuan hanya menimbulkan perubahan secara terbatas.
IV. Simpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, baik menyangkut modernisasi maupun menyangkut pengembangan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial dalam rangka pengembangan masyarakat menunju masyarakat yang dicita-citakan. Oleh karena itu modernisasi sangat diperlukan dalam pengembangan masyarakat. Tanpa adanya modernisasi tidak akan terjadi pengembangan masyarakat. Pengem-bangan masyarakat dapat tercapai jika personil atau individu dalam masyarakat telah mamahami dan menerima modernisasi dalam arti yang sesungguhnya, karena tanpa modernitas individu mustahil akan terwujud modernitas masyarakat meskipun modernitas tersebut dapat saja dimulai dari modernitas lembaga yang ada di masyarakat tersebut.
Membicarakan pengembangan masyarakat kita tidak akan terlepas dari membicarakan individu sebagai makhluk yang berubah. Oleh karena itu mem-bicarakan pengembangan masyarakat kita harus membicarakan perubahan ma-syarakat. Perubahan masyarakat yang dimaksud ada1ah perubahan yang diren-canakan atau disebut juga dengan pembangunan.
Paradigma pengembangan masyarakat harus disesuaikan dengan nilai bu-daya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam aplikasinya pe-ngembangan masyarakat harus meliputi seluruh dimensi pembangunan masya-rakat, karena jika pembangunan masyarakat meninggalkan sebagian dimensi pembangunan masyarakat atau hanya menggunakan sebagian saja, maka pembangunan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Brembeck, Cole S. (1973). New Strategies for Educational Development. Lexington: D.C. Heath and Company
Buchori, Mochtar. (1992). Transformasi Tata Nilai. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta.
Chambers, Robert. (1983). Pembangunan Desa Mulai dari Belakang: Pengantar M. Dawam Rahardjo. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Inkeles, Alex. (1983). Exploring Individual Modernity. Columbia University Press New York
Knowles, Malcolm S. (1977). The Modern Practice of Adult education: Andragogy Versus Pedagogy. New York: Association Press.
La Bella, Thomas J. (1976). Nonformal Education and Social Change in Latin America. Los Angeles: UCLA Latin American Center Publications of California
Muhammad Kamal Hasan (terjemahan). (1987). Modernisasi Indonesia (respon Cendikiawan Muslim). Jakarta. Lingkaran Studi
Nurcholish Madjid. (1989). Islam Kemoderenan dan Ke Indonesiaan Bandung. Mizan
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi. (1974). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sidi Gazalba. (1973). Modernisasi dalam persoalan. Jakar­ta. Bulan Bintang
Soekanto, Soeryono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT, Raja Brafindo Persada.
Soekanto, Soeryono (1983), Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Susanto, Astrid S. (1979). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Binacipta.
Taliziduhu Ndraha. (1990). Pembangunan Masyarakat: Mepersiapkan Masyarakat Tinggal landas. Rineka Cipta,
Zaini Hasan. (1989). Pendidikan dan Modernitas Individu dalam Proses Pembentukan Manusia Pembangunan di Indonesia. Pidato Dies Natalis IKIP Malang.

PENGARUH MODERNISASI DALAM KEHIDUPAN WANITA

To Think globally, act locally,
and perceive newly.
(Willis W.Harman,1980)
A. PENDAHULUAH
Menurut struktur biologisnya, wanita dikodratkan sebagai makhluk yang difungsikan untuk melahirkan keturunan demi mempertahankan spesiesnya. Sebagai konsekuensi dari tugas melahirkan anak tersebut, wanita secara instinktif merasa wajib untuk menyusui dan memelihara anak yang dilahirkan (agar dapat terus hidup).Kelengkapan untuk melaksanakan tugas itupun diberi oleh Tuhan. Dengan tugas yang diterimanya tersebut (dan memang harus mau menerima tanpa syarat),wanita mesti tinggal di rumah,sementara suami dan anggota ke-luarga yang lain dapat bebas pergi karena tidak menerima tugas mendesak (dan sangat penting) seperti dirinya. Oleh karena dia tinggal di rumah,dan karena wanita lahir sekaligus dengan perasaan halus penuh kasih sayang itulah, ia rela melakukan tugas-tugas lain di sektor domestik seperti memasak/mencuci piring, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Pengambilan inisiatif ini membawa dampak anggapan dan pikiran (oleh siapa saja), bahwa wanitalah yang bertanggunggungjawab terhadap pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Anggota ke-luarga yang lain hanya bertugas membantu-bantu, bukan pokok.
Apa yang di jelaskan di atas adalah sekedar rekaan yang diasumsikan sebagai awal mula terjadinya pembagian tugas antara suami dengan isteri. Apabila kita kaji, tugas mela­hirkan dan menyusui anak memang kodrat dari Tuhan Yang Maha Pencipta. Namun tugas memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lain-lain, siapakah yang memberikan? Pernahkah ada satu aturan yang menentukan pembagian tugas seperti itu? Apabila ada, manakah aturan itu, oleh siapa, dan sejak kapan? Dengan anggapan adanya kesediaan wanita untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut, maka lalu tertanam dalam masyarakat semacam peraturan kepantasan. Hanya wanitalah yang pantas bekerja di dapur. Sebaliknya akan terlihat janggal atau lucu jika didapati seorang laki-laki memandikan bayi, memasak, mencuci piring, dan lain-lain pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh wanita. Laki-laki lebih pantas pergi keluar rumah mencari nafkah untuk seluruh keluarga.
Pembagian peran dan kedudukan yang didasarkan atas jenis kelamin seperti yang disebutkan (dan yang saat ini berlaku) dikenal dengan istilah ideologi gender. Menurut pengertiannya, ideologi gender adalah suatu tatanan nilai yang menggariskan pemisahan tugas-tugas berdasarkan jenis kelamin. Sebagian memang didasarkan atas struktur biologis dan emosional secara kodrati, sebagian yang lain karena ke­pantasan yang dimulai entah kapan.
Andaikata kita dapat berkhayal tentang sebuah keluarga yang ideal, maka kita akan berbahagia bila masing-masing anggota keluarga menempati posisi sedemikian rupa sehingga di dalam keluarga tersebut terdapat pembagian tugas secara adil dan merata menurut kodratnya. Tugas wanita tidak akan seberat sekarang ini. Yang ada di dalam kenyataan, ayah dan anak-anak dapat menunda, sedikit mengurangi atau bahkan meniadakan sama sekali.
B. PERGESERAN TANGGUNGJAWAB ?
Rupanya sukar mencari orang yang akan menyangkal bahwa wanita dalam abad ini banyak memegang peran penting, bukan hanya di dalam dapur keluarganya tetapi juga di bidang lain. John Naisbit di dalam bukunya "Megatrends 2000" memperkirakan bahwa akan banyak wanita yang menduduki posisi kepemimpinan. Pada waktu inipun sudah kita saksikan tampilnya Arroyo di Pilipina, Megawati di Indonesia, dan kasus yang paling baru adalah Sonia Gandhi kalau sekiranya tidak mundur akan menjadi Perdana Menteri di India karena partainya menang. Sebelumnya kita bisa melihat bahwa Margaret Thatcher yang sempat menggetarkan dunia, Cory Aquino Benazir Bhutto, dan lain-lainnya.
Sebagai bibitnya, akhir-akhir ini banyak kita jumpai dalam tulisan atau berita tentang anak-anak wanita yang menduduki ranking lebih tinggi diban-dingkan dengan anak laki-laki. Dari penelitian yang dilakukan oleh Douvan untuk mahasiswa semester I di beberapa universitas di Amerika Serikat bagian tengah-barat diketahui bahwa cita-cita maha­siswa wanita setelah meluluskan pendidikannya adalah menemukan laki-laki calon jodohnya (Douvan, 1980). Melihat tahun penelitian itu diadakan, Mueller menghasilkan informasi yang juga senada. Menurut penemuan Mueller, wanita yang berhasil mengatasi hambatan studi dan dapat meluluskan pen­didikannya, mempunyai kebutuhan untuk mencari posisi tertentu sehingga ia dapat memegang tanggungjawab. Dengan po­sisi tersebut ia mengharapkan kepuasan batin, spiritual, sekaligus material.
Dari hasil yang lain diketahui, bahwa sebagian wanita menghendaki kepuasan dalam karier, sebagian yang lain dalam membangun keluarga, dan sebagian yang lain (dalam porsi yang sama), ingin mencapai kedua-duanya. Wanita yang ingin mencapai kepuasan batin dalam kehidupan berkeluarga oleh Mueller dikategorikan sebagai "ideal feminine", yaitu ingin memperoleh sukses di dalam pekerjaan dibandingkan dengan intelektual. Nora Johnson menyebutnya dengan istilah "the housewife’s syndrome". Kelompok ini bercita-cita menjadi isteri dan sekaligus ibu yang baik (Nora Johson; 1971).
Hasil-hasil lain dari penelitian yang dilakukan sejak tahun delapan puluhan oleh Zapoleon menunjukkan hasil bahwa motivasi wanita sesuai dengan keinginannya adalah adanya kesempatan kebersamaan dengan manusia lain (tidak seperti laki-laki yang ingin berada di depan). Dengan skala yang digu-nakan untuk mengukur kecenderungan keinginan yaitu Edwards Preference Scale, diketahui bahwa wanita ingin berbeda dengan yang lain (eksklusifisme), mengadakan afiliasi dengan wanita lain, melakukan introspeksi (mawas diri) mengenai kepribadian dan motif-motifnya, ingin membantu maupun menerima bantuan orang lain, serta suka merendahkan diri (Zapoleon, 1980).
Dari uraian dalam dua bagian di atas terlihat bahwa, peranan wanita (ibu-ibu),bukan hanya di rumah saja tetapi juga di luar rumah. Bagian pertama meng-gambarkan bagaimana ibu bertugas di sektor domestik,sedangkan bagian kedua mengarah pada tugas ibu di sektor publik.
Wanita di Indonesia sebagai kepala rumah tangga sangat banyak, bahkan masih akan meningkat melihat besarnya angka dari tahun ke tahun yang me-nunjukkan kecenderungan demikian. Apabila dicermati, wanita sejumlah itu dapat dibedakan menjadi lima kelompok mengapa mereka berstatus sebagai kepala rumah tangga :
1. seorang isteri yang telah menjadi janda karena ditinggal mati oleh suaminya,
2. seorang isteri yang telah menjadi janda karena bercerai,
3. seorang isteri yang karena suaminya tidak tinggal serumah (bekerja di lain tempat atau "pisah kebo") terpaksa dialah yang menjadi kepala rumah tangga,
4. wani­ta yang belum menikah, karena tidak ada orang tuanya di ru­mah itu (meninggal atau pisah tempat) maka ia berstatus sebagai kepala rumah tangga,
5. wanita yang tidak menikah tetapi membangun rumah tangga.
Lima kelompok kepala rumah tangga yang disebutkan di atas adalah status yang ditinjau dari segi statistik yang nampak dari luar. Sebetulnya jika kita mencermati le­bih teliti, secara sosio-psikologis masih ada kelompok lain untuk wanita yang berstatus sebagai kepala rumah tangga. Sebagai akibat kemajuan kaum wanita, atau karena terpaksa, secara tidak terasa peran isteri menjadi sedemikian dominan sehingga meskipun tidak tertera di dalam status formal ter-tulis, isteri tersebut telah menjadi "kepala rumah tangga". Tanggungjawab segala urusan berada pada pundaknya. Status terakhir inilah yang akan kita soroti lebih mendalam pada pembicaraan kita kali ini.
Dari pengamatan (observasi) secara terbatas terlihat bahwa secara tidak nyata dan tidak formal hampir semua ibu dalam keluarga sekarang ini berperan seba­gai "ibu rumah tangga". Dalam segala urusan, ibu memegang tongkat ko-mando, terlebih-lebih lagi dalam urusan ekonomi. Gambaran tentang kehidupan model lama saat ini sukar dicari di dalam praktek. Yang dimaksud dengan gam-baran kehidupan keluarga model lama adalah : suami pulang dari kantor sudah dijemput oleh isterinya di depan pintu, dibawakan tasnya, kemudian suami duduk di kursi sementara isteri melepas sepatu dan kancing-kancing baju sehingga suami tinggal mengenakan sandal dan baju rumah yang disediakan oleh isteri sebelumnya. Perlakuan isteri memanjakan suami yang demikian disebabkan ka-rena isteri hanya tinggal di rumah dan tahunya semua beres. Jika ada kekurangan uang untuk mencukupi kebutuhannya, tinggal bilang pada suami. Suami mampu memenuhi semua keperluan rumah tangga.
Apa yang terjadi sekarang ? Berapa persenkah di negara kita ini dapat di-jumpai suami yang dapat memenuhi keperluan keluarga ?. Wanita umumnya yang bukan dari keluarga konglomerat, mempunyai tanggungjawab yang amat besar terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Jika gaji suami tidak cukup, isterilah yang wajib mencari tambahannya. Dari mana asalnya, jarang sekali suami mengurusnya (tidak mau tahu).
Mengapa wanita mau mengambil alih tanggungjawab suami di dalam keluarga ? Mungkin sekali kalau ditanya terlebih dahulu dan ada kesempatan untuk menjawab "tidak", wanita akan memilih jawaban tersebut. Namun yang terjadi di masyarakat tidaklah demikian. Wanita harus bertindak apapun de­ngan cara bagaimanapun untuk mengatasi semua kesulitan yang timbul dalam keluarga. Sebagai pasukan yang berada pada garis yang paling depan, ia tidak dapat melepaskan tanggung jawab begitu saja. Sebagai contoh sederhana, dapatkah seorang ibu diam tidak bertindak jika pada waktu memasak belum ada beras tersedia, padahal anak-anaknya pergi kesekolah dan suaminya pergi bekerja ? apa yang dilakukan oleh wanita ini mudah ditebak. la pergi mencari pinjaman.
Dengan contoh lain, suami enggan pergi mendatangi pertemuan kampung (desa) padahal ada undangan resmi dari kan­tor kelurahan. Dapatkah seorang ibu membiarkan keluarganya menerima teguran dari pihak yang berwajib? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu isteri tentu mengambil inisiatif, pergi mewakili suaminya mendatangi pertemuan. Hal yang sama juga terjadi untuk keperluan-keperluan sosial, misalnya menengok orang sakit, perhelatan di tetangga dan sebagainya.
Jika dilihat dari peristiwa-peristiwa tersebut, perlu kini diajukan per-tanyaan:
1. Dapat dibenarkankah tindakan yang diambil oleh is-teri-isteri tersebut ?
2. Dapat dibe­narkankah suami melepaskan tanggungjawab memenuhi keper-luan keluarga (dalam arti ekonomis) kepada isteri ?
3. Apakah sebabnya atau dengan latar belakang apakah sementara suami malas (tidak suka/tidak termotivasi) pergi mendatangi kegiatan sosial di kampung ?
4. Apakah benar gagasan sementara yang mengatakan bahwa suami bertindak pasif sebagai akibat isteri terlalu aktif mengambil bagian tanggungjawab se-hingga suami kurang/tidak diberi kesempatan?
5. Jika peristiwa pengambilalihan tanggungjawab tersebut terjadi karena kesa-lahan isteri yang tidak/kurang memberi kesempatan, dapatkah diadakan rehabi-litasi dengan mengembalikan tanggungjawab kepada suami ? Jika dapat, dari manakah harus dimulai atau bagaimanakah memulai ?
Masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijawab untuk menolong wa-nita-wanita yang nampaknya saat ini mempunyai tugas keluarga yang amat berat tetapi tidak dapat mengeluh, apalagi melepaskan diri.
C. MODERNISASI BAGI KEHIDUPAN WANITA
Sebelum kita membicarakan apa dampak modernisasi bagi kehidupan wanita, terlebih dahulu akan dikemukakan serba singkat mengenai apa "modern" itu, dan bagaimana pengertian "modernisasi" menurut yang dikenal secara ilmiah. Seorang ahli antropologi dari Harvard University, Cambridge bernama Alex Inkeles, mengadakan penelitian mendalam dan berhasil merumuskan pengertian "modern".
Istilah "moderen" itu sendiri mengkait pada banyak hal dan mempunyai banyak konotasi pula. Istilah tersebut bukan hanya untuk orang, tetapi juga untuk bangsa, sistem politik, ekonomi, kota, lembaga seperti sekolah atau rumah sakit, rumah tinggal, pakaian dan cara berperilaku. Salah satu analisis dalam studi ten-tang modernisasi memberikan tekanan pola-pola organisasi,dan analisis yang lain memberikan penekanan pada kebudayaan dan idealisasi.Pendekatan pertama memberi warna pada bagaimana melakukan pengorganisasian dan bertindak, sedang pendekatan yang kedua memberi warna pada cara berpikir dan perasaan. Atau dengan kata lain, yang pertama mengarah pada aspek-aspek sosiologi dan politik, sedangkan yang kedua pada sosiologi dan psikologi.
Pendekatan sosio-psikologik moderen mengutamakan pro­ses perubahan dalam menangkap atau memahami, mengekspresikan dan menilai. Dengan de-mikian maka moderen didefinisikan sebagai suatu kecenderungan individu dalam bertindak dengan cara-cara tertentu. Dengan batasan tersebut maka "moderen" tidak hanya terdapat dalam masyarakat industrialisasi, tetapi di dalam ma-syarakat primitifpun ada kemungkinan untuk bertindak moderen. Proses mo-dernisasi dapat lebih mengenai individu ataupun institusi. Kenyataan yang ada adalah bahwa akibat dari industrialisasi, telah mengakibatkan sesuatu yang tidak mungkin dielakkan yaitu berubahnya struktur or­ganisasi (keluarga, sosial, bu-daya dan kemasyarakatan), sekaligus individu.
Dengan adanya perubahan yang ada pada organisasi dan individu ter-sebut, peran wanita menjadi berubah pula. Dalam keberadaannya, peran wanita dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu peran terhadap atau peran mengenai dirinya sendiri, dan peran terhadap lingkungannya.
1. Peran mengenai dirinya sendiri berkenaan dengan tuntutan atau kebutuh-annya. Sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi, wanita dihadapkan pada berbagai produk kemajuan. Apabila orang-orang lain telah meman-faatkan adanya kemajuan, maka wanita mempunyai kebutuhan yang me-ningkat pula. Menurut Maslow, manusia mempunyai kebutuhan untuk bera-filiasi agar dapat diterima oleh kelompoknya. Manifestasi dari pemenuhan kebutuhan ini, wanita melakukan hal-hal yang dulu tidak pernah dilakukan, misalnya pergi ke salon kecantikan, membuat baju dengan model yang "in" dari waktu ke waktu, mengikuti kursus atau pendidikan tambahan, dan lain-lain tindakan yang berguna bagi dan untuk pemenuhan kebutuhannya. Pe-ngambilan peran tersebut mempunyai dampak positif maupun negatif bagi dirinya sendiri, dan kadang-kadang juga bagi orang lain.
2. Peran terhadap lingkungan yang diambil atau terpaksa ha­rus diambil karena orang-orang lain (terutama yang menjadi tanggungjawabnya) atau lingkung-annya menuntut diri wanita untuk melakukannya. Contohnya banyak, antara lain bila adik atau anaknya minta diantar ke shoping, (meskipun sebetulnya ia malas untuk itu), menghadiri pertemuan di kampung, berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti atau gotongroyong sampai diskusi ilmiah, dan seba-gainya yang alasannya demi kepentingan orang lain ataupun juga bagi kepentingan dirinya sendiri agar tidak mendapat nama tidak baik di ma-syarakat.
David A. Schultz mengatakan bahwa peran wanita dalam keluarga banyak disebabkan karena tuntutan faktor luar. Menurut ahli tersebut selanjutnya karena industrialisasi misalnya telah mengubah pola kebutuhan untuk ke-luarga (TV parabola, perabot model baru) dan kebutuhan individu dalam keluarga (alat transportasi, kosmetika, buku-buku dan sebagainya).
D. ALTERNATIF STRATEGI UNTUK MENGHADAPI MODERNISASI
Di dalam bukunya BELIEFS, ATTITUDES AND VALUES, Rokeach mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
"An attitude is relatively enduring organization of beliefs about an object or situation predisposing one to respond in some prefential manner. Attitude change would then be a change in predisposition, the change being either a change in the organizati­on or structure of beliefs or a change in the con­tent of one or more of the beliefs entering into the attitude organization" Rokeach, 1980; 135).
Apabila wanita setuju dengan pendapat Rokeach tersebut, dan apabila wa-nita menanggapi modernisasi secara positif, maka ia harus melandasi dirinya dengan pandangan moderen dan bersikap moderen. Menurut Alex Inkeles (1366, 141-144) manusia moderen adalah manusia yang memiliki ciri-ciri sbb:
1. Adanya kesediaan pada dirinya untuk menerima pengalaman baru serta ke-terbukaannya menerima inovasi (pembaharuan)dan perubahan.
2. Adanya kemauan untuk menggunakan informasi dalam lingkup luas untuk menyelesaikan multi masalah, disesuaikan dengan persoalan yang timbul bukan hanya dalam lingkungan dan waktu mendesak tetapi juga di luar itu. Orientasi pemikiran orang itu lebih demokratis.
3. Adanya pemikiran terhadap masa kini dan masa mendatang (berpikir untuk jangka panjang), bukan tercekam pada ma­sa 1alu. Dengan demikian manusia moderen ingin disiplin, mentaati jadwal, sesuatu yang pasti.
4. Manusia moderen bekerja menurut rencana (planning). Semakin moderen se-seorang maka orang tersebut akan semakin mencintai bakerja dengan peren-canaan dan pengorganisasian ide serta tindakan secara matang.
5. Efficacy. Manusia moderen percaya bahwa siapa saja mampu belajar, me-nguasai lingkungan agar mendukung dirinya da­lam mencapai tujuan. Dengan demikian cara berpikir orang moderen positivistik.
6. Manusia moderen percaya dan yakin bahwa orang-orang atau institusi yang ada di lingkungannya dapat diajak berpartitipasi bersamanya. Dengan demi-kian maka keberhasilan usaha bukan tergantung dari kualitas dan karakter seseorang, tetapi karena pendekatan yang digunakan oleh manusia untuk mengarahkan.
7. Manusia moderen adalah manusia yang menyadari akan martabat atau ke-dudukan, baik dirinya maupun orang lain, sehingga akan memberikan peng-hargaan yang sesuai dengannya.
8. Manusia moderen akan lebih percaya pada hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi.
9. Manusia moderen lebih menyadari akan keadilan pembagian. Dengan demi-kian manusia moderen akan bersedia menerima bahwa perolehan pembagian selalu disesuaikan dengan seberapa ia memberikan andil, bukan dari tinjauan lain.
Apabila wanita memiliki seluruh atau sebagian dari ciri-ciri manusia mo-deren yang disebutkan, maka mereka akan mampu menghadapi tantangan mo-dernisasi. Tindakan mereka akan sinkron dengan tuntutannya. Seperti dikemu-kakan oleh Manuel Kaisiepo di dalam semi­nar sehari di SOSPOL UGM, ciri pa-ling menonjol dari realitas dunia dewasa ini adalah akumulasi krisis-krisis global dalam segala bidang: sosial, ekonomi, politik, militer dan lain-lain. Tugas kita se-karang adalah mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor atau akar dari ber-bagai krisis tersebut. Tugas tersebut tentu tidak semudah membalikkan tangan.
Roy Amara di dalam Through The '80s mengatakan bahwa perubahan se-bagai akibat kemajuan teknologi tidak selalu diterima dengan positif oleh semua orang. Ketidakberdayaan (hopelessness) dan ketidakmampuan untuk ditolong (helplessness) seringkali melanda kita, terutama apabila perubahan yang muncul jauh atau tidak relevan dengan kebutuhan kita.
Wanita, yang berperan untuk dirinya sebagai diri, dan yang harus berpe-ran untuk orang-orang yang menjadi tanggung-jawabnya, harus dapat berpikir makro, global. Namun karena yang dihadapi masalah-masalah yang ada di seki-tarnya, yang berada dalam kungkungan lokal, menyesuaikan diri dengan ling-kungan, dengan cara dan orientasi moderen:
"To think globally; act locally, and perceive newly"
E. PENUTUP
Mengakhiri tulisan yang singkat ini dapat dikatakan bahwa, wanita telah rela atau setidak-tidaknya menerima status kewanitaan. Oleh karena itu wanita perlu mendasarkan diri dalam berbuat dan beraktifitas berdasarkan pada ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci sebagai tuntunan untuk bertindak.


DAFTAR ACUAN

Frank Feather (Ed), 1980, Through The '80s, Thinking Glo­bally, Acting Locally, Washington DC: World Future So­ciety.
Cakrawala Pendidikan, Majalah Ilmiah Kependidikan, Edisi Khusus, Th. IX, Mei 1990, Yogyakarta: Pusat Pengabdian pada Masyarakat, IKIP YOGYA-KARTA.
Etzioni Amitai,Etzioni Eva-Halevy (Ed), 1973,Social Cha-nge, Sources, Patterns, and Consequences,, Second Edition, New York: Basic Books, Inc.
Inkeles,Alex,1966, The Modernization of Man, Reprinted from MODERNIZATION Edited by Myron Wetner, New York: Basic Books, Inc., Publishers.
_______________, 1970, Becoming Modern, Reprinted from International Journal of Comparative Sociology, Volume II, Number 3, Leiden: E.J. Brill, Pub-lishers.
Manuel Kaisiepo, 1986, Pemuda dan Keprihatinan Universal,Menafsir Beberapa Krisis Global Dewasa ini, Makalah untuk Seminar "Peran serta Pemuda dalam Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan Internasional", SOSPOL Gadjah Mada, 20 Februari 1986.
Rokeach, Milton, 1980, Beliefs, Attitudes and Values, San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Schulz, David A., 1976, The Changing Family, Its Function and Future, Second Edition, Englewood Cliffs, New Jer­sey: Prentice-Hall,Inc.
Suharsimi Arikunto,1990, Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Jakarta: Rajawali Press.

LEADERSHIP DAN MANAGEMENT

I. LEADERSHIP
A. Pendahuluan
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk "Zoon Politicon" (makhluk bermasyarakat ) karena dia membutuhkan pergaulan dengan orang la­in untuk memenuhi kebutuhan-kebutuham biologisnya dan kebutuhan psikologisnya.
Dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia tidak urung mengalami perbedaam kepentingan yang dapat menyebabkan per-tentangan-pertentangan kepentingan yang selanjutnya membawa situasi kon-plik yang dapat merugikan tidak hanya yang bersangkutan saja tetapi juga merugikan kepentingan bersama seluruh anggota kelompok.
Situasi yang demikian menyebabkan timbulnya kebutuhan bersama akan adanya suatu kelembagaan yang dapat mengatur dan menertibkan anggota- anggotanya dalam usaha memenuhi kebutuhan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kepentingan bersama..
Kelembagaan yang berfungsi mengatur dan menertibkan itu dinamakan kelembagaan kepemimpinan (leadership). Kelembagaan itu terdapat disetiap kelompok atau persekutuan hidup mulai dari yang terkecil seperti rumah tangga sampai yang terbesar seperti negara bahkan yang lebih besar lagi dari negara seperti badan-badan internasional.
B. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan akar katanya adalah pemimpin. Pemimpin adalah orang yang melakukan pekerjaan memimpin yang mengandung arti adanya obyek yang di “pimpin”. Obyek yang dipimpin itu dinamakam pengikut (followers).
Para ahli banyak membuat definisi tentang kepemimpinan. Definisi itu bermacam-macam coraknya namun didalamnya akan terdapat pengertian adanya kegiatan pencapaian tujuan yang dilakukan oleh seseorang bernama pemimpin dengan jalan menggunakan orang-orang lain yang bernama pengikut.
1. Menurut Karjadi (1983: 2) pemimpin diartikam:
Hubungan yang erat antara seorang dan sekelompok manusia karena adanya kepentingan bersama. Hubungan itu ditandai dengan tingkah laku yang tertuju dan terbimbing dari pada manusia yang seorang itu; Manusia atau orang ini biasanya disebut yang memimpin atau pe-mimpin, sedangkan kelompok manusia yang mengikutinya disebut yang "dipimpin".
2. RMO. Koesmardjo (1979: 2) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah:
“Daya kemampuan untuk mempengaruhi gerak laku jasmaniah dan kerohanian manusia sedemikian rupa sehingga bangkit rasa kesadaran, ketaatan dan disiplin untuk dapat dibawa mencapai tujuan bersama”.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang pemimpin haruslah punya kemampuan melebihi pengikut (anak buahnya) sehingga dia dapat mempengaruhi dan mengarahkan mereka untuk mencapai tujuan.
C. Fungsi Kepemimpinan
Seorang pemimpin mempunyai nilai-nilai lebih dari orang yang dipim-pinnya, dan seorang pemimpin punya tugas pokok untuk menghantarkan, me-ngetahui, mempelopori, memberi petunjuk, mendidik, membimbing dan lain sebagainya. Secara sederhana dapat dikatakan mempengaruhi mereka yang dipimpin sedemikian rupa sehingga mereka mau mengikuti hasil atau mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Yang menjadi fungsi utama kepemimpinan terletak pada jenis per-wakilan kelompok yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus dapat menem-patkan dirinya melalui saluran~saluran yang khusus direncanakan untuk itu.
Agar kepemimpinan dapat berjalan secara efektif dan efisien hendaklah memperhatikan fungsi-fungsi pokok kepemimpinan sebagai berikut :
1. Mengambil inisiatif atau prakarsa.
Inisiatif berarti langkah permulaan atau pertama dari sesuatu kegiatan yang bersifat baru. Pemimpin harus mampu memulai kegiatan baru yang belum pernah dilakukannya dan belum pernah dilakukan oleh kelompok sebe-lumhya. Dia tampil mempelopori kegiatan tersebut, karena ia beranggapan bahwa kegiatan tersebut perlu dimulai sebagai salah satu usaha untuk memecahkan problema-problema yang dihadapi kelompok. Dia tidak puas dengan cara-cara kerja yang bersifat asal jadi sehingga kegiatan tersebut kehilangan makna, tidak berjiwa dan terasa hampa dan layu.
Oleh sebab itu dia selalu mencari sesuatu yang baru, karena pada yang baru dia memperoleh kesegaran. Berusaha menciptakan suatu yang baru disebut berkreasi dan kegiatannya disebut kreatif. Orang kreatif berfikir orisinil tidak tiru-tiruan atau latah. Ada beberapa jalan untuk mengambil inisiatif, diantaranya:
a. Berusahalah mulai dengan hal-hal yang baru
b. Biasakan diri membuat catatan-catatan
c. Merangsang timbulnya ilham
2. Mengambil Keputusan
Inti dari pekerjaan memimpin adalah mengambil keputusan. Meng-ambil keputusan berarti melakukan pilihan atas salah satu alternatif yang dianggap terbaik dalam rangka pemecahan su­atu problema. Dalam kata lain mengambil keputusan adalah proses berfikir logis.
Efektifitas seorang pemimpin diukur dari cara dia mengambil kepu-tusan (tegas atau ragu ragu) dan keputusan itu sendiri (tepat atau ngawur, masuk akal atau mustahil).
Ada 6 langkah cara mengambil keputusan yang baik :
a. Menyatakan persoalan sebagaimana terlihat
b. Mengumpulkan fakta-fakta
c. Menenmukan persoalan
d. Membuat alternatif-alternatif
e. Meneliti alternatif-alternatif
f. Memilih pemecahan masalah yang baik
Disamping itu harus diusahakan setiap keputusan agar:
a. Mudah dipahami oleh yang akan melaksanakan
b. Mantap, tidak mudah berobah-obah
c. Tidak diulur-ulur
d. Tidak bertentangan dengan keputusan yang masih berlaku
3. Berkomunikasi
Komunikasi adalah usaha penyampaian ide-ide, informasi kepada orang lain. Berkomunikasi merupakan tugas pokok seorang pemimpin ka-rena melalui saluran-saluran komunikasilah pimpinannya dialirkan.
Dalam praktek sehari-hari, pekerjaan memimpin itu terwujud dalam bentuk memberikan perintah-perintah, instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, bimbingan, penjelasan dan sebagainya kepada orang orang yang berada didalam kelompok kerjanya yang dilakukan dengan lisan atau tulisan dan sebaliknya dia menerima laporan-laporan atas pelaksanaan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk itu, baik secara lisan atau tulisan. Dengan demikian jelaslah bahwa wujud pekerjaan memimpin itu adalah berkomunikasi.
Ada 2 tujuan komunikasi dalam kelompok kerja:
Pertama : Penyampaian informasi dan pengertian yang penting bagi usaha kelompok, agar kemampuan kerja dapat meningkat.
Kedua : Pembinaan sikap-sikap yang diperlakukan untuk motivasi, kerjasama dan kepuasan kerja, dikalangan kelompok kerja agar kemauan untuk bekerja dan kegairahan kerja menjadi kuat dan bertambah.
Jika kedua tujuan di atas tercapai, maka berarti komunikasi berjalan lancar dan pelaksanaan kerja semakin baik.
4. Memotivstsi
Kegiatan pokok keempat dari seorang pemimpin adalah memotivasi para pengikut atau anak buahnya, agar mereka senantiasa bergairah mela-kukan tugas yang dipikulkan. Pemimpin yang pandai memotivasi anak buahnya pastilah akan berhasil dalam melaksanakan tugasnya, oleh karena dapat menciptakan kelompok kerja yang efektif dan produktif.
Motivasi adalah sesuatu yang mendorong manusia untuk melakukan suatu tingkah laku atau tindak tanduk dalam bahasa Inggris disebut behavior.
Para ahli ilmu jiwa mengatakan bahwasanya semua tingkah laku manusia adalah akibat adanya dorongan yang bernama motivasi itu. Tingkah laku di- sini adalah tingkah laku yang sadar, bukan yang tidak sadar atau yang dilakukan secara reflek. Jadi manusia melakukan sesuatu karena ada maksud atau tujuan yang ingin dicapai oleh manusia untuk memenuhi keinginan-keinginanya yang timbul karena ada kebutuhan-kebutuhan (needs).
Para ahli membagi kebutuhan manusia itu kepada tiga kelompok yaitu: kebutuhan primer (makam, minum, pelepasan kebutuhan biologis dan lain-lain) kebutuhan sekunder (kegiatan bersama, berkomunikasi dengan sesama, pendidikan dan lain-lain), kebu­tuhan integratif (prinsip benar salah, perasaam keyakinan diri dan keberadaan, rekreasi dam hiburan dan lain-lain).

Seorang ahli bernama A.H. Maslow mengemukakan teorinya bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melakukan urutan prioritas. Jika kebutuhan pertama sudah terpenuhi maka kebutuhan kedua akan menyusul begitu seterusnya. Prioritas pertama diletakkan dalam pemenuhan kebutuhan primer atau kebutuhan dasar.
Bertolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia bekerja baik secara sendiri-sendiri atau berkelompok adalah didorong oleh kebutuhan seperti disebut di atas. Jadi yang dicari manusia tidak lain dari pemenuhan kebutuhannya. Kewajiban seorang pemimpin yang bijaksana untuk mengaitkan mencapaian tujuan-tujuan individual tersebut dengan tujuan kelompok atau organisasi sehingga timbullah perasaan kait berkait, saling membutuhkan dan mencapai puncaknya pada perasaan integrasi antara kedua macam tujuan tersebut.
Suatu kelompok atau organisasi akan menjadi efektif kalau integrasi tersebut telah tercapai, oleh karena semua anggota kelompok tersebut telah termotivasi secara penuh. Suatu kelompok dikatakan efektif jika di dalam kelompok tersebut terdapat ketentraman kerja, kegembiraan kerja, minim-nya konplik-konplik dan kuatnya perasaan memiliki (sense of belonging-ness), rasa tanggungjawab, semangat inovasi dan bekerja sama.
5. Mengembangkan Anggota
Tanggungjawab terpenting seorang pemimpin adalah pengembangan orang-orang yang berada dibawah pimpinannya, sehingga mereka dapat me-miliki kemampuan-kemampuan yang dituntut dari jabatan mereka masing-masing.
Dengan ditunjuknya seseorang untuk memangku jabatan, tidaklah berarti secara otomatis dia sudah akan mampu memenuhi tuntutan jabatannya. Dia harus dibimbing, diberi petunjuk bahkan harus dilatih sedemikian rupa. Lebih-lebih kalau diingat bahwa tuntutan jabatan itu sendiri ikut pula berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka latihan itu menjadi mutlak.
Kalau anggota kita tidak dikembangkan secara terus menerus, ada harapan suatu ketika akan terjadi jurang antara kemampuan mereka dengan tuntutan jabatan yang sifatnya dinamis yang dapat menimbulkan krisis yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan-tujuan kelompok atau organisasi.
Banyak pemimpin-pemimpin yang kurang memberikan perhatian atas masalah perkembangan anggota ini. Pemimpin model ini dalam hatinya timbul kekhawatiran, kalau anggotanya berkembang suatu ketika bisa membahayakan kedudukannya dan mungkin bisa menjadi saingannya. Pada hal semestinya seorang pemimpin haruslah bangga karena dalam kalom-poknya banyak tenaga yang suatu ketika bisa menggantikannya. Kepintaran anggota dapat dipetik dan dimanfaatkannya untuk pencapaian tujuan kelom-pok atau organisasi sehingga efektif dan produktif. Kelompok yang demi-kian ditandai dengan banyaknya kader-kader sebagai pengganti.

Menurut Onong Uchyana (1977: 19), secara umum fungsi-fungsi kepemimpinan adalah bertujuan:
1. Mengembangkan imajinasi
2. Mengembangkan kesetiaan
3. Pemrakarsaan, penggiatan dan pengawasan rencana
4. Pelaksanaan keputusan
5. Pengawasan
6. Penganugerahan tanda penghargaan
Jadi dapat disimpulkan bahwa jika seorang pemimpin telah menja-lankan fungsi-fungsinya, maka akan tercapailah apa yang menjadi tujuan dari kelompok atau organisasi tersebut.
D. Gaya-Gaya Kepemimpinan (Leadership Styles)
Para ahli memformulasikan bahwa ada beberapa cara seseorang pemim-pin dalam menjalankan kepemimpinannya, diantaranya dikemukakan Karjadi (1983:6) yaitu: “(1) Secara otokratis; (2) Secara militeristis; (3) Secara paternalistis; (4) Secara kharismatis; (5) Secara free rein atau Laises faire; (6) Secara demokratis (partisipatif)”.
1. Secara Otokratis
Gaya otokratis dipakai oleh pemimpin-pemimpin yang melihat bahwa tujuan-tujuan kerja hanya bisa tercapai kalau orang-orang dapat melaksanakan tugasnya dengan patuh sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan. Penyimpangan-penyimpangan tidak dapat ditolerir, karena hal itu akan menjauhkan dari pencapaian tujuan. Disiplin formal akan menjadi pegangan dan kebijaksanaan kurang sekali.
Pimpinan gaya otokratis sangat keras sekali memegang peraturan dan kurang menghargai harkat insani dari anggota kelompoknya. Oleh karena itu ia memandang bahwa orang-orang diterima dalam suatu pekerjaan yang untuk itu dia bayar adalah untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga kerja, bukan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing secara pribadi. Siapa-siapa yang tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sewaktu-waktu dapat dikeluarkan dari kelompok. Suasana kerja dibawah gaya pemimpin otokratis ini pada umumnya terasa kaku dan tegang, orang-orang banyak merasa tertekan, dan kadang-kadang tidak luput dari ketakutan.
2. Secara Demokratis /Partisipatif.
Gaya ini dipakai oleh pemimpin-pemimpin yang berpendapat bahwa orang-orang bekerja pada pokoknya adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Dia mempunyai kebutuhan baik bersifat primer maupun sekunder. Untuk me­menuhi kebutuhan tersebut, mereka mencari alat atau sarana untuk mencapainya. Alat atau sarana utama adalah uang. Untuk mendapatkan uang tersebut orang mau bekerja untuk orang lain, yang berbentuk upah atau gaji dan orang akan bekerja dengan baik, artinya seseorang bekerja dengan segenap jiwa raganya. Manakala orang merasa betah bekerja dengan kelompok kerja, karena merasa bahwa dengan dia bekerja tersebut tidak hanya tujuan kelompok kerjanya saja yang tercapai, tapi juga tujuan-tujuan individualnya.
Berdasarkan pandangan itu, pemimpin demokratis atau partisipatif menjunjung tinggi nilai-nilai insani (human values) dengan jalan sedapat-dapatnya berusaha mempartisipasikan anak buahnya atau anggota kelompoknya dalam rangka pencapaian tujuan-tujuannya. Kekuasaam anak buah atau anggota kelompok selalu mendapat perhatiannya.
3. Secara Paternalistis
Gaya pemimpin paternalistis adalah seorang pe­mimpin yang bersifat kebapakan. la menganggap bawahannya sebagai anak atau orang yang belum dewasa dan butuh perhatian dan perlindungan. Oleh sebab itu pemimpin yang seperti ini tidak percaya terhadap kemampuan bawahannya, sehingga anak buahnya tidak perlu berinisiatif dan kreatif. Walaupun bawahan-bawahan itu melakukan kesalahan-kesalahan ia tidak pernah marah bahkan tetap bersikap ramah dan baik.
4. Secara Kharismatik
Kepemimpinan yang kharismatik adalah kepemimpinan yang dida-sarkan kepada kepercayaan kelompok kepadanya. Gaya kepemimpinan yang kha­rismatik mempunyai kelebihan-kelebihan pada dirinya dan kadang-kadang pengikutnya terlalu subyektif menilainya. Kepatuhan dan kesediaan kelompok kepada leader sangat menonjol, seperti pimpinan-pimpinan agama, pemimpin adat dan lain-lain .

5. Secara Free Rein
Gaya ini dipakai oleh pemimpin yang berpendapat bahwa fungsinya sebagai pemimpin pada hakekatnya adalah untuk kepentingan orang- orang yang merupakan anak buah atau anggota kelompoknya. Apa yang menjadi kemauan anggota sedapat mungkin dipenuhi. Sang pemimpin hanyalah sekedar juru bicara "penyambung lidah" dari anak buahnya atau anggota kelompoknya. Pemimpin Free Rein sangat menghargai inisiatif (prakarsa) dari anak buahnya. Inisiatif dari kalangan kelompoknya sangat menentukan tercapainya tujuan kelompok. Maka pimpinan Free Rein minimal sekali memberikan perintah dia merasa cukup memberikan garis-garis besarnya saja. Disiplin kelihatan lemah sekali, tidak mengherankan karena disiplin membatasi kebebasan.
6. Secara Militeristis
Seorang pemimpin yang bersifat militeristis yakni pemimpin yang memiliki sifat-sifat antara lain pendapat Karjadi (1983: 9 )
1. Untuk menggerakkan bawahannya ia menggunakan sistem perintah/komando yang biasa digunakan dalam kemiliteran.
2. Gerak geriknya senantiasa tergantung kepada pangkat dan jabatannya.
3. Senang akan formalitas yang berlebih-lebihan.
4. Menuntut disiplin keras dan kaku dari bawahannya.
5. Senang akan upacara untuk berbagai-bagai keadaan.
6. Tidak menerima kritik dari bawahannya.
7. Dan lain sebagainya.
Kepemimpinan dalam gaya militeristis ini bersifat komando dari atasan kepada bawahannya.

E. Sifat-Sifat yang Harus Dimiliki oleh Pemimpin
Seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang semestinya dimiliki oleh pemimpin. Sifat tersebut tentulah sifat yang dapat dikategorikan kepada sifat yang baik yang dapat mendorong dan mendukung pekerjaan sebagai pemimpin.
Sesungguhnya tidak akan kita dapatkan orang yang memiliki sifat yang secara keseluruhannya dimiliki secara ideal oleh pemimpin. Namun jika kita menjadi pemimpin tentulah harus memiliki beberapa sifat yang mendekati pemimpin ideal. Sifat tersebut menurut Sutarto (1991: 57) dapat disimpulkan sebagai berikut: “(1) takwa, (2) sehat, (3) cakap, (4) jujur, (5) tegas, (6) setia, (7) cerdik, (8) berani, (9) berilmu, (10) efisien, (11) disiplin, (12) manusiawi, (13) bijaksana, (14) bersemangat, (15) percaya diri, (16) berjiwa matang, (17) bertindak adil, (18) berkemauan keras, (19) berdaya cipta asli, (20) berwawasan situasi, (21) berpengharapan baik, dan (22) mampu berkomunikasi.





II. MANAGEMENT
A. Pendahuluan
Disadari bahwa management merupakan keahlian yang harus dimiliki oleh seseorang, apakah ia seorang organisator atau pimpinan suatu organisasi, pimpinan perusahaan, pimpinan lembaga kemahasiswaan dan lain-lain, untuk menggerakan orang guna melakukan suatu pekerjaan, atau dengan kata lain menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan.
Ilmu ini sangat diperlukan sekali bagi seorang pimpinan karena tanpa keahlian atau tanpa seni, seorang pemimpin tidak akan dapat mencapai tujuan organisasi atau tujuan kelompok dengan baik.
B. Pengertian
Banyak definisi-definisi tentang management ini, namun beberapa ahli mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
1. Vernon A.Musselman dan John H.Jackson (1984: 98) mengatakan bahwa management adalah: “Kegiatan-kegiatan perencanaan (planning) pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing) dan pengendalian (controlling) dari sebuah perusahaan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
2. Menurut Prof. Oei Liang Lee (1981: 88), management adalah :
“Ilmu dan seni merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, meng-koordinasikan serta mengawasi tenaga manusia dengan bantuan alat-alat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
Dari kedua definisi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa management adalah semacam seni (art) untuk memimpin yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan pembawaan. Sebagai ilmu management dapat dipelajari sedangkan sebagai seni adalah merupakan pembawaan (bibit yang dianugrahkan oleh yang Maha Pencipta)
C. Fungsi-fungsi Management
Dari definisi-definisi management di atas, maka terdapat unsur-unsur atau disebut juga dengan fungsi-fungsi management seperti yang dikemu-kakan oleh Basu Swastha DH. (1981: 88) sebagai berikut:
(1) Planning - perencanaan
2. Organizing - pengorganisasian
3. Staffing (directing) - pengarahan
4. Coordinating - pengkoordinasian
5. Controlling - pengontrolan
1. Planning (perencanaan)
Palanning atau perencanaan adalah penentuan terlebih dahulu apa saja yang akan dikerjakan/dilaksanakan. Vernon A.Musselman dan John H. Jack­son (1984:110) mendefinisikan perencanaan sebagai berikut: "memutuskan apa yang akan dikerjakan, menetapkan tujuan-tujuan, menentukan strategi dan memilih alternatif arah tindakan. Secara terperinci Basu Swastha DH. mengatakan perencanaan menggambarkan tentang: "Apa, bagaimana, mengapa dan kapan akan dilakukan"
Keempat pertanyaan tersebut harus jelas penjabarannya dalam planning, sehingga planning tersebut berjalan secara efektif dan efisien. Perencanaan juga dapat diartikan sebagai “proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang” (Sudjana, 1992:41). Disebut sistematis karena perencanaan itu dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip tertentu dalam proses pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah serta tindakan yang terorganisasi. Sesuai dengan definisi tersebut maka dalam perencanaan haruslah mengandung unsur-unsur umum yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
- Tindakan apa yang harus dikerjakan (the what)
- Apakah sebabnya tindakan itu harus dijalankan (the why)
- Dimanakah tindakan itu harus dilakukan (the where)
- Kapankah tidakan itu dilaksanakan (the when)
- Siapakah yang akan mengerjakan (the who)
- Bagaimana cara melaksanakannya (the how)
Kendatipun perencanaan dapat dibuat oleh seseorang tapi dalam prakteknya yang baik adalah dengan cara "joint participation" yaitu perencana berembuk dengan orang lain untuk meminta nasehatnya, mencari fakta-fakta dan mendengarkan pendapat-pendapat orang tersebut, atau masukan dari bawahan (bottom up) konsultasi dengan orang lain atau anggota kelompok lebih memungkinkan untuk memperbaiki rencana, mudah diterima oleh pihak yang akan ditugaskan menjalankannya.
2. Organizing (Pengorganisasian)
Dalam menjelaskan fungsi organisasi ini dapat dikemukakan seperti: Pengertian pengorganisasian, pentingnya organisasi, macam-macam organisasi dan lain-lain. Pengertian pengorganisasian menurut Siagian (dalam Sudjana, 1992: 78)) adalah “keseluruhan proses penge-lompokkan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggungjawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan”. Pengertian ini mengandung makna bahwa pengorgasasian meliputi proses pembentukan organisasi secara keseluruhan dan pengorganisasian bagian-bagian.
Pentingnya pengorganisasian dalam suatu organisasi dapat digambarkan sebagai berikut:
- Organisasi tanpa tujuan tidak ada artinya dan hanya merupakan penghamburan uang saja
- Organisasi didirikan untuk mencapai hasil-hasil tertentu
- Dasar-dasar dari organisasi terletak pada maksud dan tujuan yang telah ditetapkan. Maksud dan tujuan organisasi harus ditinjau oleh kekuasaan yang lebih tinggi.
- Tujuan organisasi dimengerti dan diterima oleh para bawahan dan dicamkan sedalam-dalamnya di dalam jiwa mereka.
3. Staffing (Pengarahan)
Dimaklumi bahwa dalam suatu organisasi pimpinanlah yang bertanggungjawab akan pelaksanaan tugas-tugas organisasi, tapi tidak berarti ia harus mengambil alih semua tugas tersebut. Dalam pelaksanaan tugas pimpinan dapat menunjuk staf (orang lain) untuk mengerakannya dengan pemberian wewenang dan pembahagian tanggung jawab. Pada waktu-waktu tertentu pimpinan juga boleh membentuk panitia yang berfungsi sebagai staf atau sejumlah orang yang diangkat dan dipilih guna mempertimbangkan persoalan yang diajukan kepadanya (pimpin-an).
Sesuai dengan pengertian staf yaitu orang yang diangkat/ditunjuk sesuai dengan keahliannya untuk melaksanakan suatu tugas yang di-bebankan kepadanya. Maka berdasarkan hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa tugas staf adalah: memberikan layanan dan nasehat kepada manager/pimpinan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
Karena staf berfungsi memberikan layanan dan nasehat kepada pimpinan, maka ia harus memiliki kwalifikasi-kwalifikasi tertentu. Beishline.Ph.D (1957: 232) menjelaskan 6 pokok kwalifikasi seorang staf sebagai berikut:
1. Memiliki pengetahuan yang luas tentang orgasisasi
2. Mempunyai sifat-sifat kepribadian seperti kesetiaan, tenaga yang besar, kesehatan, inisiatif, pertimbangan yang baik dan pandai bergaul
3. Mempunyai semangat kerja sama dan ramah tamah
4. Kestabilan emosi dan tingkah laku yang sopan
5. Kesederhanaan
6. Kemauan baik dan optimistis
4. Coordinating (Pengkoordinasian)
Karena didalam operasional pencapaian tujuan suatu organisasi terdapat banyak fungsi-fungsi yang dijalankan, baik oleh pimpinan maupun oleh staf. Maka koordinasi dimaksudkan agar fungsi-fungsi yang mempunyai hubungan satu sama lain ditempatkan pada bahagian-bahagian yang sama, sehingga aktifitas-aktifitas berjalan dengan suatu koordinasi yang baik.
5. Controlling (Pengontrolan)
Controlling atau pengawasan adalah merupakan fungsi terakhir dari pada pemimpin setelah fungsi-fungsi lainnya. Fungsi dari pada controlling ini sebenarnya adalah fungsi pimpinan yang berhubungan dengan usaha penyelamatan jalannya organisasi ke arah pulau cita-cita yaitu tujuan yang hendak dicapai.
Adapun prinsip-prinsip pokok d pengawasan adalah :
- Adanya rencana tertentu
- Adanya pemberian instruksi-instruksi serta wewenang kepada bawahan (anggota kelompok)
Ada beberapa cara dalam melakukan penga­wasan yaitu dengan jalan :
- Peninjauan pribadi
- Wawancara atau laporan lisan
- Laporan tertulis
- Laporan pengawasan
- Monitoring
Akhirnya proses pengawasan akan melalui tiga fase yaitu menetapkan alat ukur, menilai dan mengadakan tindakan perbaikan.
Demikianlah fungsi-fungsi mangement yang harus menjadi ilmu atau diilmui oleh seorang pemimpin organisasi guna mencapai tujuan secara efektlf dan efisien.


DAFTAR BACAAN


A. Musselman Vernon dan H. Jackson, 1984. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Edisi Kesembilan Jilid I,Erlangga .
Boishline, PHD, 1957. Perencanaan Organisasi Komando dan Kontrol Dalam Pertahanan Nasional. Jakarta: Indira..
M. Karjadi, 1983. Kepemimpinan (Leadership). Bandung: PT Karya Nusantara Cabang Bandung.
RMO Koesmardjo, 1979. Ketahanan Dan Daya Juang, DDII.
Sudjana, H.D. 1992. Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press.
Sutarto. 1991. Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Swastha DH, Basa, DKK. 1981. Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern. Edisi Kedua. Yogyakarta: Liberty.
Uchyana, Onong. 1977. Kepemimpinan dan Komunikasi. Bandung: Alumni.