laman

Senin, 31 Maret 2008

Modernisasi Dan Pembangunan Masyarakat

I. Pendahuluan
Faktor penting dalam modernisasi adalah terjadinya perubahan dalam masyarakat. Modernisasi tidak akan terjadi jika perubahan dalam masyarakat tidak terjadi. Perubahan pada hakekatnya adalah dinamika kehidupan bagi manusia sebagai makhluq Tuhan maupun makhluq sosial. Manusia sebagai makhluq sosial selalu melakukan interaksi untuk saling memenuhi kebutuhan dalam rangka ke-langsungan hidupnya. Perubahan dapat terjadi akibat interaksi yang dilakukan oleh individu baik direncanakan maupun tidak.
Perubahan yang direncanakan dengan sengaja dikenal dengan istilah pengembangan atau pembangunan. Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersiapkan manusia dalam menghadapi imperatif perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pengembangan sebagai upaya untuk menghadapi tantangan yang terjadi di masya­rakat secara terencana sudah banyak dikaji sehingga telah ditemukan banyak model pengembangan, antara lain model pengembangan dengan perencanaan dari bawah yang dikenal dengan bottom up planning atau perencanaan partisipatif. Dalam perencaan model ini masukan dari pelaksana kegiatan sangat dibutuhkan, sedangkan model pengembangan dengan perencanaan dari atas yang dikenal dengan top down planning, rencana langsung dibuat oleh pengambil kebijakan dan tidak membutuhkan masukan dari para pelaksana kegiatan.
Model pengembangan dengan perencanaan partisipatif banyak menarik minat bagi pengembang masyarakat, karena model pengembangan tersebut menitik beratkan pada kebutuhan masyarakat. Sementara pengembangan yang didasarkan perencanaan dari atas banyak mengandung kelemahan dan mendapat kritikan, karena pengembangan tersebut hasilnya kurang dapat dirasakan oleh masyarakat yang dikembangkan. Bahkan banyak kritikan tajam antara lain dikemukakan oleh Chambers (1987) yang ditujukan kepada para ahli, peneliti, birokrat, sarjana dan mereka yang terlibat dalam pembangunan, karena mereka pada dasarnya adalah "orang luar" yang tidak dapat merasakan masalah yang dirasakan oleh masyarakat terutama di daerah pedesaan, dan kurang dapat memahami penerapan teknologi bagi pembangunan pedesaan. Bahkan meng-anggap orang desa tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang pembangunan.
Pengkajian teori pengembangan masyarakat telah pula menemukan beberapa matra yang dapat mempengaruhi proses pengembangan masyarakat. Menurut Andrist (1992) matra tersebut antara lain ialah: sumber, metode, tingkat, arah dan luas atau cakupan.
Sumber daya manusia sebagai salah satu matra pengembangan masyarakat perlu mendapatkan perhatian, karena manusia disamping obyek pengembangan juga sekaligus sebagai subyek pengembangan. Sebagai obyek pengem­bangan mereka menjadi sasaran didik bagi lembaga pendidikan baik pendidikan per-sekolahan maupun pendidikan luar sekolah. Dalam mengembangkan sasaran didik dalam lembaga pendidikan luar sekolah diperlukan satu strategi sehingga pe-laksanaan program pendidikan luar sekolah dapat mencapai sasaran sesuai dengan cita-cita pengembangan masyarakat. Demikian pula sebagai subyek pengem-bangan, mereka harus dibekali seperangkat pengetahuan sikap dan ketrampilan agar dapat berpartisipasi secara penuh dalam pengembangan masyarakat. Pem-bekalan tersebut juga dapat diberikan melalui berbagai jenis program pendidikan formal (sekolah) maupun pendidikan non fomal (luar sekolah).
Modernisasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan atau pem-baharuan. Pembaharuan mencakup bidang-bidang yang sangat banyak. Bidang mana yang akan diutamakan oleh suatu masyarakat tergantung dari kebijaksanaan penguasa yang memimpin masyarakat tersebut (Soekanto, 1990:386).
Modernitas tiap orang berbeda-beda, tergantung di masyarakat bagaimana orang itu hidup. Modernitas individu yang dimiliki oleh masyarakat cenderung tinggi bila masyarakatnya sudah maju. Modernitas cenderung rendah bila masya-rakatnya belum maju (tradisional). Oleh karena itu ada dua konsep modernitas, yaitu modernitas masyara­kat dan modernitas individu.
Lancarnya proses modernitas individu maupun modernitas masyarakat sangat tergantung pada keadaan masyarakat itu sendiri. Jadi, pandangan yang konstruktif terhadap inovasi baru dapat mempercepat proses modernitas. Apabila individu atau masyarakat bersifat terbuka terhadap hal-hal baru, maka ada kecenderungan proses modernitas itu akan berlangsung secara cepat.
Dalam masyarakat modern yang dinamis, transformasi tata nilai merupakan suatu proses yang harus dilakukan secara terus menerus, dalam arti bahwa ma-syarakat terus menerus berusaha memahami makna dari berbagai perubahan yang terjadi beserta akibat-akibat yang ditimbulkannya dalam kehhidupan. Buchori (1992) menegaskan bahwa pemahaman mengenai implikasi sosial dari perubahan-perubahan ini selanjutnya merupakan suatu landasan untuk mengidentifikasi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada tata nilai yang lama, dan merancang perubahan-perubahan tata nilai yang sedang berlaku untuk melahirkan tata nilai baru atau nilai yang diperbaharui yang lebih sesuai dengan persoalan yang terdapat dalam masyarakat.
Modernitas individu dapat dipandang dari empat dimensi perilaku dengan korelasi sikap yang analogis: (1) pencarian informasi, (2) perencanaan dan inves-tasi, (3) partisipasi multi sistem, dan (4) keinovatifan (Waisanen dalam Brembeck, 1973:101). Empat dimensi ini merupakan satu kesatuan dan pengembangan, misalnya, pencarian informasi adalah syarat menuju ke perencanaan dan investasi; perencanaan adalah syarat menuju ke partisipasi multi sistem, dan seterusnya. Empat dimensi ini paralel dengan beberapa fungsi pendidikan yang berbeda (pendidikan persekolahan atau pendidikan luar sekolah), yaitu: (1) fungsi kesadaran, (2) fungsi perolehan keterampilan, (3) fungsi partisipasi, dan (4) fungsi penelitian yang didasarkan pada pencarian ide-ide baru yang bersifat inovatif.
Walaupun konsep modernitas individu ini telah ada, tetapi masih perlu dikaitkan dengan suatu kerangka kerja yang saling berhubungan secara teoritis dan efisien. Konsep tersebut diharapkan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, sehingga teori-teori yang ada dapat dipraktekkan dalam kehidupan individu dan masyarakat.
II. Permasa1ahan
Cakupan permasalahan yang dihadapi berhubungan dengan perubahan masyarakat sangat banyak, namun dalam tulisan ini ada beberapa pertanyaan yang akan dibahas menyangkut dengan pengembangan masyarakat, diantaranya adalah:
1. Apakah Hakikat modernisasi?
2. Apakah hakikat perubahan masyarakat?
3. Bagaimanakah paradigma pembangunan masyarakat?
4. Apakah dimensi-dimensi pengembangan masyarakat?
III. Pembahasan
A. Hakikat Modernisasi
Modernisasi merupakan istilah populer yang merupakan salah satu ben-tuk perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Perancis.
Hans Dieter Evers 1973 (dalam Taliziduhu Ndraha, 1990:5) mengemu-kakan bahwa modernisai adalah proses penerapan ilmu pengetahuan yang meliputi semua segi kehidupan manusia pada tingkat yang berbeda-beda; pertama di dunia Barat, kemudian berbaur dalam dunia lainnya melalui berbagai cara dan kelompok dengan tujuan utama untuk mencapai taraf ke-hidupan yang lebih baik dan lebih nyaman dalam arti seluas-luasnya, se-panjang dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan.
Modernisasi adalah suatu proses aktivitas yang membawa kemajuan, yakni perubahan dan perombakan secara asasi mengenai susunan dan corak suatu masyarakat dari statis ke masyarakat yang dinamis, dari tradisional ke rasional, dari feodal ke kerakyatan dan lain sebagainya dengan jalan meng-ubah cara berfikir masyarakat sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi segala aparat dan tatacara semaksimal mungkin (Endang Saifuddin Anshari, 199O:230-231).
Modernisasi secara jelas dapat diidentikkan atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Artinya proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja yang rasional. Dengan demikian, sesuatu itu dapat disebut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan berkesesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam (Nurcholish Madjid, 1989). Dari pengertian modernisesi yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan modernisasi adalah untuk melakukan perubahan kearah kemajuan dalam segala aspek kehidupan manusia.
Dengan modernisasi menurut Deliar Noer, suatu masyarakat dituntut agar: (a) melihat ke depan bukan melihat ke belakang, (b) memiliki sikap yang dinamis dan aktif, bukan sikap menunggu, (c) memberikan perhatian khusus kepada waktu terutama kepada ruang bagi rasionalitas, bukan pada perasaan-perasaan atau asumsi-asumsi, (d) mengembangkan suatu sikap yang terbuka terhadap pemikiran dan hasil-hasil penemuan ilmiah, (e) memberi­kan prioritas kepada hal-hal yang telah dicapai oleh seseorang, bukan kepada statusnya yang diakui, (f) memberikan perhatian yang terbesar kepada persoalan- persoalan langsung yang lebih konkrit dan yang lebih mendunia, (g) melibatkan dirinya kepada tujuan-tujuan yang mengatasi tujuan-tujuan golongan (Muhammad Kamal Hasan, 1987-s 2O) .
Kata "modernity" (Inggris) berarti pembaharuan (Echol dan Shadily, 1993:386). Jadi, inti pengertian modern adalah sesuatu yang baru (Gazalba, 1973:10). Secara harfiah, kata modern adalah sesuatu yang baru menggan-tikan sesuatu yang lama berlaku, seperti rumah modern, pakaian modern, lagu-lagu modern (Zaini, 1989:19).
Aplikasi dari modernisasi dapat berbentuk modernitas individu maupun modernitas sosial. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang modernisasi, maka modernitas dapat diartikan seperangkat ciri-ciri atau karakteristik orang yang dapat membuat orang lebih sukses dimasa yang akan datang. Seperangkat karakteristik yang membuat dirinya dinamis itu disebut modernitas individu. Zaini, (1989:21) mengemukakan bahwa mo-dernitas individu adalah seuntai nilai, sikap dan tingkah laku yang membentuk kepribadian seseorang dan membuatnya aktif dan dinamis untuk mengem-bangkan hidupnya secara mandiri di dalam masyarakat yang semakin kom-pleks. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang dapat dikatakan modern adalah orang yang mempunyai nilai, sikap dan tingkah laku yang menunjukkan kepribadian yang dinamis dan aktif. Dengan ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh Inkeles dan Smith (1979:19—25) sebagai berikut:
1. Terbuka terhadap pengalaman baru
2. Kesiapan menerima perubahan sosial
3. Cenderung memperoleh/memiliki pendapat-pendapat baru
4. Aktif mencari fakta dan informasi
5. Efficacy atau percaya atas kemampuan manusia
6. Berorientasi pada perencanaan, yaitu memiliki perencanaan yang jelas da-lam hidupnya
7. Berorientasi ke masa depan dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya
8. Percaya pada kalkulabilitas teknik dan keadilan distributif
9. Memiliki aspirasi pendidikan dan pekerjaan modern
10. Menghormati martabat orang lain
11. Memahami rasional produksi dalam industri
12. Selalu bersikap optimis dan tidak lekas menyerah terhadap keadaan dan tantangan yang dihadapi
13. Aktif dalam kegiatan politik dan sosial
14. Cenderung senang hidup di kota
15. Keyakinan terhadap agama lemah.
Ciri-ciri yang melekat pada individu yang bersangkutan menjadikan individu tersebut mengambil sikap dan melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kemajuan, apakah untuk kemaslahatan dirinya (modernitas individu) ataupun untuk kemaslahatan orang lain (masyarakat). Jika moder-nitas pada masing-masing individu dalam suatu masyarakat telah mulai, maka lama kelamaan modernitas individu tersebut dapat menjadi modernitas sosial/ masyarakat. Selain itu jika dalam suatu kelompok masyarakat telah mem-punyai ciri-ciri yang mengarah kepada kemajuan masyarakat, maka dalam kelompok masyarakat tersebut sudah terjadi pembaharuan (modernisasi).
B. Hakekat Perubahan
Perubahan pada hakekatnya adalah dinamika kehidupan bagi manusia maupun makhluk-makhluk yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, selalu mengadakan interaksi untuk saling memenuhi kebutuhan dalam rangka kelangsungan hidupnya.
Menurut Karl Manheim, sebagaimana dikutip Susanto (1979: 182), mengemukakan bahwa:
A changing community is not determined by a set of unshakable commonds, but is engaged in permanent search for new norms to express changing experi­ences. The content of conscience is accordingly not ditermined by explicit and final rules but is continuosly shaping its self a new
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, inti dari perubahan masyarakat adalah perubahan norma-normanya, di mana perubahan norma dan proses pembentukan norma merupakan inti dari kehidupan mem-pertahankan kesatuan kehidupan kelompok. Berbeda dengan konsep per-ubahan menurut Soemardjan (1974:487) bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat. Perbedaan ke dua pengertian tersebut terletak pada proses perubahan, kalau Manheim menekankan perubahan itu terjadi dalam proses pembentukan norma dalam masyarakat, sedangkan menurut Soemardjan menekankan pada proses yang terjadi di dalam lembaga kermasyarakatan. Dengan demikian menurut Soemardjan, perubahan masyarakat ditentukan dalam lembaga kemasya-rakatan.
C. Pengembangan Masyarakat
1. Hakekat Pengembangan
Pengembangan pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersi-apkan manusia mengahadapi perubahan. Pengembangan berkonotasi perubahan, selalu melekat pada diri manusia. Oleh karena itu senang atau tidak, direncanakan atau tidak perubahan akan tetap berjalan dan selalu dihadapi, karena perubahan pada hakekatnya adalah dinamika kehidupan bagi manusia sebagai makhluq Tuhan. Manusia sebagai makhluq Tuhan yang dibekali akal budi dan juga sebagai makhluq sosial yang selalu mengadakan interaksi untuk saling memenuhi kebutuhan dalam rangka ke-langsungan hidupnya.
Terdapat dua pilihan bagi manusia dalam menghadapi perubahan, pertama membiarkan perubahan itu terjadi sesuai dengan kodratnya dan manusia menerima perubahan secara alamiah. Pilihan kedua manusia berusaha untuk menyongsong perubahan itu dengan tekad untuk tetap bisa menguasai arah, mutu serta terpeliharanya tujuan hidup (Soetjipto Wiro-sarjono, 1992).
Apabila pilihan kedua yang diambil, maka manusia perlu dibekali pengetahuan yang siap digunakan untuk mengantisipasi arah dan tujuan perubahan tersebut. Pembekalan pengetahuan pada manusia dapat dila-kukan melalui pendidikan. Pendidikan adalah komponen yang mendasar dalam usaha perubahan sosial secara mikro. Pendidikan secara eksternal diarahkan pada proses di mana individu belajar untuk menerapkan pe-ngetahuan kognitif, afektif dan psikomotor dalam lingkungannya (La Bella, 1976:18). Tujuan pendidikan diarahkan untuk memungkinkan partisipasi belajar cara baru untuk memanipulasi lingkungan sosial dan fisiknya. Dengan demikian sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan suatu kendaraan yang penting bagi perubahan sosial dan proses pembangunan bangsa"(La Bella, 1976:20).
Berkaitan dengan masalah pengembangan, banyak konsep yang membahas tentang hakekat pengembangan masyarakat. Salah satu dian-taranya ialah konsep yang mengemukan bahwa pengembangan masyarakat dengan perencanaan yang berasal dari bawah atau bottom up, atau istilah lain dengan pengembangan partisipatif. Konsep pengembangan ini didasarkan pada wawasan, bahwa pengembangan itu harus berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Konsep tersebut sebenarnya sudah lama dikenalkan oleh para ahli, tetapi penyebaran dan pelaksanaanya sa-ngat lambat. Konsep tersebut disamping mempunyai kelebihan, juga memi-liki kelemahan. Salah satu kelemahan yang patut disadari ialah karena konsep tersebut dikembangkan oleh kalangan ahli yang berasal dari ke-lompok menengah keatas. Menurut Cambers (1983), para ahli, peneliti, birokrat, sarjana dan mereka yang terlibat dalam pembangunan merupakan "orang luar" yang kurang dapat merasakan kemiskinan di pedesaan dan kurang dapat memahami teknologi pembangunan pedesaan dan bahkan menganggap orang desa tidak memiliki pengetahuan. Para pengembang masyarakat lebih menekankan pada konsep teori yang dianggapnya paling benar. Sebagai konsekwensinya pembangunan tidak dapat berjalan karena tidak cocok dengan situasi pedesaan tersebut. Dan bahkan lebih fatal lagi, banyak proyek yang dilaksanakan hanya menguntungkan para perencana, sedangkan hasilnya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat penerima pro-yek.
2. Paradigma Pembangunan Masyarakat
Pembangunan masyarakat yang pada mulanya diarahkan pada pem-bangunan materi terjadi pada abad ke 18. Pada masa ini orang menganggap bahwa perkembangan materi sebagai suatu yang diminati dan bisa terlak-sana (Andrist, 1992). Pemikiran yang semakin banyak dianut orang, mula-mula dicetuskan oleh Adam Smith dengan usaha meningkatkan kondisi kehidupan bagi bangsa Inggris. Perkembangan selanjutnya dengan mun-culnya teknologi industri, mengakibatkan berkembangnya kapitalisme. Karl Marx sebagai penganut Hegel tidak terlalu tertarik pada angka besar dan bahkan menentang kapitalisme, bukan karena kapitalisme itu me-ningkatkan taraf hidup, melainkan kapitalisme telah menciptakan "keku-atan-kekuatan produksi yang lebih massal dan lebih kolosal dibandingkan dengan yang dapat diraih oleh generasi-generasi sebelumnya secara bersama-sama". Sementara Marx memproklamirkan pemikiran tentang pengembangan kekuatan produktif manusia, dan transformasi produksi materi menjadi kekuatan alam. Cendikiawan lain seperti John S. Mill mulai melontarkan keragu-raguan mereka. Mill mengaku tidak tergiur oleh pandangan orang tentang kehidupan yang menganggap bahwa ciri manusia normal adalah perjuangan untuk memperoleh apa yang diinginkan, dan bahwa sikap saling menginjak, saling menyikut dan saling memanfaatkan yang merupakan ciri kehidupan sosial waktu itu. Namun dalam dekade berikutnya pengembangan materi di Barat sudah mulai beralih pada pemikiran alokasi sumber daya yang efisien, seperti perdagangan bebas versus proteksi, dan masalah distribusi pendapatan.
Dalam dekade pasca perang dunia II, muncul istilah pembangunan ekonomi dalam rumusan dunia barat mengenai cita-cita mereka memba-ngun dunia pasca perang. Sebagai suatu cita-cita, ide tersebut menjadi bagian dari program para pemimpin pergerakan kemerdekaan menentang dominasi barat, yang menurut istilah Rustow (Andrist, 1992), sebagai gerakan pendorong yang disebut "nasionalisme reaktif". Dalam piagam PBB pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu sarana untuk me-ningkatkan standar hidup, meningkatkan lapangan kerja dan perekonomian serta untuk memajukan dan membangun masyarakat.
Pembangunan ekonomi menurut Myrdal (Andrist, 1992) tidak seke-dar peningkatan standart hidup Jasmaniah; pembangunan ekonomi berarti manjadi "manusia baru” dan "manusia modern". Pertumbuhan ekonomi di-anggap sentral, karena kebebasan untuk memilih alokasi dan distribusi ba-rang dan jasa merupakan syarat bagi tercapainya kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa. Pada tahun 1950-an di saat pembangunan ekonomi umumnya disamakan dengan pertumbuhan ekonomi, maka pem-bangunan ekonomi lebih difokuskan pada faktor-faktor penentu perubahan ekonomi.
Salah satu faktor yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi adalah pembentukan modal, sehingga negara berkembang sulit mening-katkan pertumbuhan karena kekurangan modal. Sampai sekitar tahun I960-an, para ahli ekonomi termasuk Maddison ternyata mempunyai kesimpulan lain, bahwa faktor modal dan faktor lainya seperti kerja, hanya sedikit saja kegunaannya untuk menjelaskan adanya perbedaan dalam laju pertum-buhan ekonomi. Ada satu "faktor residu" yang besar yang berpengaruh pada modal manusia khususnya perkembangan teknik. Pengertian menge-nai "investasi manusia" dengan tekanan pada pentingnya pendidikan dan faktor budaya, merupakan langkah pertama menuju paham pembangunan dilihat dari segi yang tidak bersifat ekonomi semata.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya berkaitan dengan masalah modal, tetapi juga masalah ma-nusianya sebagai sumber daya. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka pendidikan merupakan salah satu kunci, disamping budaya yang dimiliki setiap bangsa yang sedang membangun. Sedangkan untuk membangun budaya untuk menjadi manusia modern melalui transformasi budaya, yaitu: (1) perbaikan mengenai substansi dan tatanan nilai-nilai (perbaikan tekstual) dan (2) perbaikan mengenai cara-cara menanamkan (menginternalisasikan) tata nilai nasional ke dalam diri bangsa dengan ja-lan perbaikan secara nyata.
Perbaikan pertama merupakan langkah formulatif, sedangkan perbaikan ke dua merupakan langkah edukatif. Untuk melakukan perbaikan tekstual diperlukan sikap terbuka, namun kritis, terhadap budaya-budaya asing (toleransi kultural) serta pemahaman yang mendasar (apresiasi intelektual) terhadap peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di dunia dewasa ini dan di masa mendatang. Tanpa kedua landasan ini tidak mungkin untuk mengadakan perbaikan tekstual yang berarti terhadap tata nilai yang dianut secara nasional. Perlu disadari bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya mencintai nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyangnya.
Kecintaan terhadap nilai luhur yang disertai sikap kritis akan me-mungkinkan terjadinya modifikasi atau modernisasi terhadap nilai luhur tersebut dalam rangka memasuki zaman modern tanpa kehilangan makna. Langkah edukatif untuk memperbaiki tata nilai nasional secara aktual perlu mendapat kritik yang mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan nilai diberbagai lingkungan pendidikan.
Kesenjangan antara nilai tekstual dan aktual pada dasarnya meru-pakan kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan. Kesenjangan ini terjadi karena dalam praktek pendidikan selalu diutamakan pengetahuan tentang nilai-nilai dan kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan untuk mencintai dan mengamalkan nilai.
Kurang berusaha mengembangkan kemampuan melihat nilai-nilai secara non personal. Sementara ini banyak prasangka yang merintangi hubungan dengan kemiskinan desa pada umumnya, dan dengan keme-laratan pada khususnya. Terdapat enam prasangka yang sangat menonjol, yaitu: prasangka keruangan, prasangka proyek, prasangka kelompok sasaran, prasangka musim kemarau, prasangka diplomatis dan prasangka profesional (Chambers,1983: 17—32). Prasangka-prasangka tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, prasangka keuangan, di mana pembangunan banyak menekankan pada orang kaya dan menjauhi orang miskin. Pembangunan yang diuta-makan untuk kenyamanan bagi wisatawan pembangunan desa. Akibatnya timbullah prasangka yang mendahulukan daerah perkotaan, seperti pem-bangunan terminal, jalan raya.
Kedua, prasangka proyek paling jelas dapat dilihat pada proyek pameran, seperti proyek pencontohan atau desa binaan dengan dukungan tenaga dan dana yang lebih dari cukup, diikuti para peserta yang sudah diajari dan tahu apa yang harus dikatakan dan letaknya tidak terlalu jauh dari kantor pusat. Pemerintah pusat memang memerlukan proyek tersebut dalam rangka mempersiapkan informasi tentang keberhasilan pembangunan yang telah dicapai.
Ketiga, prasangka kelompok sasaran, timbul akibat dari penggalian infor-masi yang hanya menekankan pada orang-orang dari golongan elit, me-ngutamakan pada kaum pria dibanding dengan kaum wanita, mengu-tamakan orang-orang pemakai jasa dan penerima gagasan baru serta men-dahulukan orang yang aktif sedangkan orang tidak aktif karena jompo, sakit, dan lain-lain tidak mendapat perhatian.
Keempat, prasangka musim, merupakan gejala yang umum ditemukan karena wisatawan pembangunan turun cendereung pada musim panen menjelang musim kemarau. Kemiskinan relatif tidak banyak ditemukan di pedesaan. Demikian pula mereka juga jarang turun pada musim hujan karena takut menanggung resiko kehujanan dan terjebak di jalan berlumpur.
Kelima, prasangka diplomatis, timbul akibat dari rasa segan para pejabat desa untuk menunjukkan kemiskinan yang sebenarnya. Demikian pula orang kota merasa segan mengadakan dialog dengan orang miskin karena rikuh dan masih ditambah lagi adanya hambatan yang berupa sikap sopan santun dan rasa malu yang dimiliki orang desa.
Keenam, prasangka profesional, secara umum spesialisasi profesi dengan segala keunggulannya menyulitkan seseorang untuk memahami keseng-saraan. Hal ini disebabkan karena latihan yang diberikan bukan masalah yang menyangkut kemiskinan, sehingga mereka sulit untuk melihat (buta) terhadap keadaan di luar 1ingkungannya. Orang beranggapan bahwa setiap pengetahuan tentang nilai secara otomatis akan diikuti oleh pengamalan dari nilai tersebut. Padahal kenyataanya tidaklah demikian, rangkaian peristiwa psikis yang menghubungkan pengetahuan dan pengamalan merupakan mata rantai yang terdiri atas enam peristiwa psikhis, yaitu : kognisi, afeksi, konasi, volisi, motivasi dan praxis (pengamalan). Hu-bungan peristiwa tersebut bersifat berurutan, dan peristiwa satu dipisahkan dengan lainnya oleh hambatan. Selama hambatan tersebut tidak dapat ditembus, maka pengetahuan tidak akan diikuti oleh pengamalan.
Dalam rangka menganalisis fenomena-fenomena sosial terdapat empat paradigma (Barrel dan Morgan, 1978: 21) yang masing-masing menunjukkan persepsi perbedaan yang mendasar dalam menganalisis fenomena tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam paradigma secara sungguh-sungguh dimulai dari sudut pandang yang berbeda serta kesim-pulan nyata dari perbedaan konsep dan alat analisis yang digu­nakan. Keempat paradigma tersebut adalah sebagai berikut:
1) Paradigma fungsional (functional paradigma)
Paradigma ini merupakan kerangka kerja paling dominan untuk meng-hasilkan sosiologi akademik dan studi organisasi. Pola pemikiran paradigma ini merupakan karakteristik untuk memberikan penjelasan tentang status quo, tatanan sosial, konsensus, integrasi sosial, kohesi, solidaritas, kebutuhan akan kepuasan, dan aktualisasi.
Pendekatan fungsional untuk ilmu sosial cenderung mengasumsikan bahwa dunia sosial berusaha mengubah relativitas peninggalan penga-laman kongkrit serta keterkaitannya untuk dapat diidentifikasi, dipela-jari, dan diukur melalui pendekatan-pendekatan yang berasal dari ilmu alamiah (natural sciences).
2) Paradigma interpretif (interpretive paradigm).
Paradigma interpretif memberikan informasi dengan tujuan memahami dunia apa adanya (world atitis), memahami alam yang mendasar pada dunia sosial pada tingkatan pengalaman subyektif. Paradigma interpretif menjelaskan di dalam alam kesadaran individu dan subyektifitas dengan kerangka kerja dari partisipan sebagai lawan dari observ­er dari tindakan-tindakanya.
Sosiologi interpretif diarahkan untuk menangani esensi-esensi kejadian dunia sehari-hari. Dari analisis schema tergambar tanggung jawab melalui keterlibatan dengan isu hubungan dalam bidang-bidang: status quo, tatanan sosial, konsensus sosial, integrasi sosial dan kohesi, solidaritas dan aktualisasi.
3) Paradigma radical humanis (the radical humanist para­digm)
Paradigma radikal humanis didefinisikan dengan memperhatikan pe-ngembangan sosiologi perubahan radikal dari sudut pandang subyek-tivitas. Ini merupakan suatu pendekatan untuk ilmu-ilmu sosial yang lazim digunakan bersama-sama dengan interpretif paradigma. Menurut pandangan ini perspektif dunia sosial di mana cenderung menjadikan nominalist, anti positivist, voluntaris, dan ideographic. Bagaimanpun juga kerangka acuan itu terikat pada pandangan masyarakat di mana pene-kanan terhadap pentingnya transenden keterbatasan keberadaan tatanan sosial.
Dari unsur selanjutnya kita coba melihat konsep sosiologi perubahan radikal, dimana aliran humanis radikal menempatkan secara tegas di atas perubahan radikal, modes of domination, emansipasi, deprivasi dan potensialitas. Di dalam analisisnya ditegaskan tentang: konflik struktural, model dominasi, kontradiksi dan depripasi.
4) Paradigma structural radikal (The structuralist radi­cal paradigm) .
Radikal strukturalis, meliputi perubahan radikal, emansipasi potensialitas di dalam analisisnya ditegaskan tentang: konflik struktural, model dominasi, kontradiksi dan depresipasi. Pendekatan ini secara unvum bermuara dari suatu sudut dengan kecenderungan menjadi realist, posi— tivist, determinist dan nomothetic.
Ditegaskan bahwa fakta perubahan radikal ditumbuh-kembangkan ke dalam kondisi alamiah serta struktur masyarakat kontemporer dan berupaya memberikan penjelasan dari keterkaitan hubungan yang men-dasar dalam kontek formulasi sosial.
3. Dimensi Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendahuluan adalah merupakan perubahan yang direncanakan, maka dimensi perubahan sosial/masyara­kat juga merupakan dimensi bagi pembangunan msyarakat. Adapun dimensi tersebut antara lain: sumber, metode, tingkat, arah dan luas atan cakupan.
a) Sumber perubahan
Perubahan masyarakat tidak mungkin terjadi begitu saja me-lainkan melalui sumber-sumber tertentu, sehingga dapat menggerakkan masyarakat untuk mengikuti perubahan yang terjadi. Sumber-sumber tersebut antara lain ialah: keyakinan, organisasi dan penemuan tekno-logi.
Supaya terjadi perubahan, maka orang harus diyakinkan bahwa perubahan yang dilakukan dapat memperbaiki keadaan dan taraf hidup masyarakat. Tanpa usaha memberikan keyakinan tersebut, anggota masyarakat mengalami kesulitan untuk mengikuti arus perubahan. Un-tuk membuat masyarakat yakin terdapat perubahan perlu pengaturan strategi melalui suatu organisasi. Dengan demikian orga­nisasi meme-gang peranan penting dalam menyusun strategi perubahan yang dike-hendaki. Di samping perubahan melalui sumber organisasi dan keya-kinan atau ideologi yang bersifat politis, penemuan teknologi meru-pakan sumber perubahan yang bersifat non politis. Penemuan teknologi baru dapat pula memacu perubahan masyarakat, misalnya daerah ter-belakang yang selama ini hanya mengenal teknologi pedesaan yang kurang dapat menghasilkan produksi pertanian secara optimal, setelah mengenal teknologi maju, maka mereka dengan semangat tinggi meng-ikuti perubahan yang sedang berlangsung.
b) Metode perubahan
Perubahan dapat terjadi dengan spontan, artinya perubahan terse-but terjadi tanpa pengarahan manusia secara sadar dan sebaliknya per-ubahan dapat pula terjadi karena carnpur tangan manusia melalui ke-kuatan organisasi yang diarahkan secara sadar pada tujuan tertentu. Perubahan yang diarahkan baik oleh kekuatan politik, ekonomi, maupun kekuatan birokrasi menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat secara luas. Model-model perubahan ini dipengaruhi oleh metode yang diper-gunakan, misalnya kelompok revolusioner menggunakan kekerasan un-tuk menggugah massa yang bersifat apatis dalam rangka menghadapi kelompok elit yang menentang perubahan. Dilema yang dihadapi oleh kelompok revolusioner adalah bahwa kekerasan itu sering kali mening-katkan penolakan terhadap perubahan. Berbeda dengan kelompok revolusioner, kelompok reformis mempunyai pandangan bahwa per-ubahan harus terjadi melalui sarana-sarana yang lebih bertahap. Tidak berbeda dengan kelompok revolusioner, kelompok reformis juga me-miliki dilema yaitu bahwa pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan dapat memberikan kesan adanya perubahan tanpa menjurus kearah perubahan yang sebenarnya.
Strategi yang berbeda digunakan oleh kelompok puritan dan ke-lompok quaker pada abad ketujuh belas di Inggris dalam melakukan perubahan menggunakan organisasi dan kekerasan di satu pihak dan spontanitas dan non kekerasan di pihak lain.
c) Tingkat perubahan
Dimensi lain dari perubahan adalah derajat kecepatan. Setiap ma-syarakat pasti mengalami perubahan, tetapi derajat kecepatan perubahan tersebut berbeda, ada masyarakat yang derajat kecepatannya tinggi ada pula derajat kecepatannya rendah. Pada masyarakat pertanian tradisional sebagian mengalami perubahan dalam sekala cepat, tetapi terbatas pada perubahan yang berkaitan dengan fertilitas (kelahiran), pubertas, per-kawinan dan mortalitas (kematian), di samping itu juga terdapat mobi-litas sosial maupun geografis tetapi terbatas. Sebaliknya masyarakat modern memungkinkan mengalami perubahan jauh lebih cepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi kece­patan perubahan tersebut antara lain ialah: datangnya teknologi maju, metode baru mengenai pengorgani-sasian dan ideologi yang dominan.
d) Arah perubahan
Arah perubahan masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu arah ke depan dan arah ke belakang. Arah perubahan ma-syarakat ke depan adalah perubahan yang dilakukan para pimpinan un-tuk menciptakan suatu masyarakat baru dan sistem politik baru yang sebelumnya tidak ada. Sedangkan arah perubahan ke belakang ialah perubahan yang dilakukan para pimpinan untuk mengembalikan tipe masyarakat dan negara yang ada di masa lalu. Arah perubahan masya-rakat dapat diklasifikasikan dalam empat tipe gerakan, yaitu:
Pertama kelompok revolosioner melakukan gerakan, agar yang terakhir menjadi yang pertama. Gerakan ini nampaknya timbul akibat adanya sebagian masyarakat yang merasa dirugikan, kemudian bangkit dalam sistem sosial, untuk menciptakan pemerataan kekuasaan, keka-yaan dan prestise dalam kelompck-kelompok sosial.
Kedua adalah kelompok reformis, di mana para pemimpin menca-ri peluang bagi individu-individu untuk memperoleh mobilitas sosial.
Ketiga ialah kelompok konservatif, merupakan suatu kelompok yang mengusahakan perubahan-perubahan yang terbatas dalam sistem stratifikasi sosial, Kelompok tersebut sebenarnya hanya ingin melaku-kan penyesuaian-penyesuaian kecil dalam proses untuk memperoleh prestise sosial dalam masyarakat.
Keenpat adalah kelompok reaksioner, di mana para pemimpin kelompok tersebut ingin memulihkan sistero stratifikasi hirarkhis yang kaku dan elites yang telah runtuh.
e) Luas atau cakupan perubahan
Pemahaman terhadap perubahan sosial tidak dapat diterima sepe-nuhnya tanpa menganalisis cakupan atau luas perubahan yang me-nyangkut derajat perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dari gerakan utama yang menimbulkan perubahan sosial, revolusi meru-pakan gerakan yang menimbulkan perubahan yang luas. Sedangkan pembaharuan hanya menimbulkan perubahan secara terbatas.
IV. Simpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, baik menyangkut modernisasi maupun menyangkut pengembangan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial dalam rangka pengembangan masyarakat menunju masyarakat yang dicita-citakan. Oleh karena itu modernisasi sangat diperlukan dalam pengembangan masyarakat. Tanpa adanya modernisasi tidak akan terjadi pengembangan masyarakat. Pengem-bangan masyarakat dapat tercapai jika personil atau individu dalam masyarakat telah mamahami dan menerima modernisasi dalam arti yang sesungguhnya, karena tanpa modernitas individu mustahil akan terwujud modernitas masyarakat meskipun modernitas tersebut dapat saja dimulai dari modernitas lembaga yang ada di masyarakat tersebut.
Membicarakan pengembangan masyarakat kita tidak akan terlepas dari membicarakan individu sebagai makhluk yang berubah. Oleh karena itu mem-bicarakan pengembangan masyarakat kita harus membicarakan perubahan ma-syarakat. Perubahan masyarakat yang dimaksud ada1ah perubahan yang diren-canakan atau disebut juga dengan pembangunan.
Paradigma pengembangan masyarakat harus disesuaikan dengan nilai bu-daya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam aplikasinya pe-ngembangan masyarakat harus meliputi seluruh dimensi pembangunan masya-rakat, karena jika pembangunan masyarakat meninggalkan sebagian dimensi pembangunan masyarakat atau hanya menggunakan sebagian saja, maka pembangunan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Brembeck, Cole S. (1973). New Strategies for Educational Development. Lexington: D.C. Heath and Company
Buchori, Mochtar. (1992). Transformasi Tata Nilai. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta.
Chambers, Robert. (1983). Pembangunan Desa Mulai dari Belakang: Pengantar M. Dawam Rahardjo. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Inkeles, Alex. (1983). Exploring Individual Modernity. Columbia University Press New York
Knowles, Malcolm S. (1977). The Modern Practice of Adult education: Andragogy Versus Pedagogy. New York: Association Press.
La Bella, Thomas J. (1976). Nonformal Education and Social Change in Latin America. Los Angeles: UCLA Latin American Center Publications of California
Muhammad Kamal Hasan (terjemahan). (1987). Modernisasi Indonesia (respon Cendikiawan Muslim). Jakarta. Lingkaran Studi
Nurcholish Madjid. (1989). Islam Kemoderenan dan Ke Indonesiaan Bandung. Mizan
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi. (1974). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sidi Gazalba. (1973). Modernisasi dalam persoalan. Jakar­ta. Bulan Bintang
Soekanto, Soeryono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT, Raja Brafindo Persada.
Soekanto, Soeryono (1983), Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Susanto, Astrid S. (1979). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Binacipta.
Taliziduhu Ndraha. (1990). Pembangunan Masyarakat: Mepersiapkan Masyarakat Tinggal landas. Rineka Cipta,
Zaini Hasan. (1989). Pendidikan dan Modernitas Individu dalam Proses Pembentukan Manusia Pembangunan di Indonesia. Pidato Dies Natalis IKIP Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar