laman

Senin, 31 Maret 2008

PENGARUH MODERNISASI DALAM KEHIDUPAN WANITA

To Think globally, act locally,
and perceive newly.
(Willis W.Harman,1980)
A. PENDAHULUAH
Menurut struktur biologisnya, wanita dikodratkan sebagai makhluk yang difungsikan untuk melahirkan keturunan demi mempertahankan spesiesnya. Sebagai konsekuensi dari tugas melahirkan anak tersebut, wanita secara instinktif merasa wajib untuk menyusui dan memelihara anak yang dilahirkan (agar dapat terus hidup).Kelengkapan untuk melaksanakan tugas itupun diberi oleh Tuhan. Dengan tugas yang diterimanya tersebut (dan memang harus mau menerima tanpa syarat),wanita mesti tinggal di rumah,sementara suami dan anggota ke-luarga yang lain dapat bebas pergi karena tidak menerima tugas mendesak (dan sangat penting) seperti dirinya. Oleh karena dia tinggal di rumah,dan karena wanita lahir sekaligus dengan perasaan halus penuh kasih sayang itulah, ia rela melakukan tugas-tugas lain di sektor domestik seperti memasak/mencuci piring, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Pengambilan inisiatif ini membawa dampak anggapan dan pikiran (oleh siapa saja), bahwa wanitalah yang bertanggunggungjawab terhadap pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Anggota ke-luarga yang lain hanya bertugas membantu-bantu, bukan pokok.
Apa yang di jelaskan di atas adalah sekedar rekaan yang diasumsikan sebagai awal mula terjadinya pembagian tugas antara suami dengan isteri. Apabila kita kaji, tugas mela­hirkan dan menyusui anak memang kodrat dari Tuhan Yang Maha Pencipta. Namun tugas memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lain-lain, siapakah yang memberikan? Pernahkah ada satu aturan yang menentukan pembagian tugas seperti itu? Apabila ada, manakah aturan itu, oleh siapa, dan sejak kapan? Dengan anggapan adanya kesediaan wanita untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut, maka lalu tertanam dalam masyarakat semacam peraturan kepantasan. Hanya wanitalah yang pantas bekerja di dapur. Sebaliknya akan terlihat janggal atau lucu jika didapati seorang laki-laki memandikan bayi, memasak, mencuci piring, dan lain-lain pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh wanita. Laki-laki lebih pantas pergi keluar rumah mencari nafkah untuk seluruh keluarga.
Pembagian peran dan kedudukan yang didasarkan atas jenis kelamin seperti yang disebutkan (dan yang saat ini berlaku) dikenal dengan istilah ideologi gender. Menurut pengertiannya, ideologi gender adalah suatu tatanan nilai yang menggariskan pemisahan tugas-tugas berdasarkan jenis kelamin. Sebagian memang didasarkan atas struktur biologis dan emosional secara kodrati, sebagian yang lain karena ke­pantasan yang dimulai entah kapan.
Andaikata kita dapat berkhayal tentang sebuah keluarga yang ideal, maka kita akan berbahagia bila masing-masing anggota keluarga menempati posisi sedemikian rupa sehingga di dalam keluarga tersebut terdapat pembagian tugas secara adil dan merata menurut kodratnya. Tugas wanita tidak akan seberat sekarang ini. Yang ada di dalam kenyataan, ayah dan anak-anak dapat menunda, sedikit mengurangi atau bahkan meniadakan sama sekali.
B. PERGESERAN TANGGUNGJAWAB ?
Rupanya sukar mencari orang yang akan menyangkal bahwa wanita dalam abad ini banyak memegang peran penting, bukan hanya di dalam dapur keluarganya tetapi juga di bidang lain. John Naisbit di dalam bukunya "Megatrends 2000" memperkirakan bahwa akan banyak wanita yang menduduki posisi kepemimpinan. Pada waktu inipun sudah kita saksikan tampilnya Arroyo di Pilipina, Megawati di Indonesia, dan kasus yang paling baru adalah Sonia Gandhi kalau sekiranya tidak mundur akan menjadi Perdana Menteri di India karena partainya menang. Sebelumnya kita bisa melihat bahwa Margaret Thatcher yang sempat menggetarkan dunia, Cory Aquino Benazir Bhutto, dan lain-lainnya.
Sebagai bibitnya, akhir-akhir ini banyak kita jumpai dalam tulisan atau berita tentang anak-anak wanita yang menduduki ranking lebih tinggi diban-dingkan dengan anak laki-laki. Dari penelitian yang dilakukan oleh Douvan untuk mahasiswa semester I di beberapa universitas di Amerika Serikat bagian tengah-barat diketahui bahwa cita-cita maha­siswa wanita setelah meluluskan pendidikannya adalah menemukan laki-laki calon jodohnya (Douvan, 1980). Melihat tahun penelitian itu diadakan, Mueller menghasilkan informasi yang juga senada. Menurut penemuan Mueller, wanita yang berhasil mengatasi hambatan studi dan dapat meluluskan pen­didikannya, mempunyai kebutuhan untuk mencari posisi tertentu sehingga ia dapat memegang tanggungjawab. Dengan po­sisi tersebut ia mengharapkan kepuasan batin, spiritual, sekaligus material.
Dari hasil yang lain diketahui, bahwa sebagian wanita menghendaki kepuasan dalam karier, sebagian yang lain dalam membangun keluarga, dan sebagian yang lain (dalam porsi yang sama), ingin mencapai kedua-duanya. Wanita yang ingin mencapai kepuasan batin dalam kehidupan berkeluarga oleh Mueller dikategorikan sebagai "ideal feminine", yaitu ingin memperoleh sukses di dalam pekerjaan dibandingkan dengan intelektual. Nora Johnson menyebutnya dengan istilah "the housewife’s syndrome". Kelompok ini bercita-cita menjadi isteri dan sekaligus ibu yang baik (Nora Johson; 1971).
Hasil-hasil lain dari penelitian yang dilakukan sejak tahun delapan puluhan oleh Zapoleon menunjukkan hasil bahwa motivasi wanita sesuai dengan keinginannya adalah adanya kesempatan kebersamaan dengan manusia lain (tidak seperti laki-laki yang ingin berada di depan). Dengan skala yang digu-nakan untuk mengukur kecenderungan keinginan yaitu Edwards Preference Scale, diketahui bahwa wanita ingin berbeda dengan yang lain (eksklusifisme), mengadakan afiliasi dengan wanita lain, melakukan introspeksi (mawas diri) mengenai kepribadian dan motif-motifnya, ingin membantu maupun menerima bantuan orang lain, serta suka merendahkan diri (Zapoleon, 1980).
Dari uraian dalam dua bagian di atas terlihat bahwa, peranan wanita (ibu-ibu),bukan hanya di rumah saja tetapi juga di luar rumah. Bagian pertama meng-gambarkan bagaimana ibu bertugas di sektor domestik,sedangkan bagian kedua mengarah pada tugas ibu di sektor publik.
Wanita di Indonesia sebagai kepala rumah tangga sangat banyak, bahkan masih akan meningkat melihat besarnya angka dari tahun ke tahun yang me-nunjukkan kecenderungan demikian. Apabila dicermati, wanita sejumlah itu dapat dibedakan menjadi lima kelompok mengapa mereka berstatus sebagai kepala rumah tangga :
1. seorang isteri yang telah menjadi janda karena ditinggal mati oleh suaminya,
2. seorang isteri yang telah menjadi janda karena bercerai,
3. seorang isteri yang karena suaminya tidak tinggal serumah (bekerja di lain tempat atau "pisah kebo") terpaksa dialah yang menjadi kepala rumah tangga,
4. wani­ta yang belum menikah, karena tidak ada orang tuanya di ru­mah itu (meninggal atau pisah tempat) maka ia berstatus sebagai kepala rumah tangga,
5. wanita yang tidak menikah tetapi membangun rumah tangga.
Lima kelompok kepala rumah tangga yang disebutkan di atas adalah status yang ditinjau dari segi statistik yang nampak dari luar. Sebetulnya jika kita mencermati le­bih teliti, secara sosio-psikologis masih ada kelompok lain untuk wanita yang berstatus sebagai kepala rumah tangga. Sebagai akibat kemajuan kaum wanita, atau karena terpaksa, secara tidak terasa peran isteri menjadi sedemikian dominan sehingga meskipun tidak tertera di dalam status formal ter-tulis, isteri tersebut telah menjadi "kepala rumah tangga". Tanggungjawab segala urusan berada pada pundaknya. Status terakhir inilah yang akan kita soroti lebih mendalam pada pembicaraan kita kali ini.
Dari pengamatan (observasi) secara terbatas terlihat bahwa secara tidak nyata dan tidak formal hampir semua ibu dalam keluarga sekarang ini berperan seba­gai "ibu rumah tangga". Dalam segala urusan, ibu memegang tongkat ko-mando, terlebih-lebih lagi dalam urusan ekonomi. Gambaran tentang kehidupan model lama saat ini sukar dicari di dalam praktek. Yang dimaksud dengan gam-baran kehidupan keluarga model lama adalah : suami pulang dari kantor sudah dijemput oleh isterinya di depan pintu, dibawakan tasnya, kemudian suami duduk di kursi sementara isteri melepas sepatu dan kancing-kancing baju sehingga suami tinggal mengenakan sandal dan baju rumah yang disediakan oleh isteri sebelumnya. Perlakuan isteri memanjakan suami yang demikian disebabkan ka-rena isteri hanya tinggal di rumah dan tahunya semua beres. Jika ada kekurangan uang untuk mencukupi kebutuhannya, tinggal bilang pada suami. Suami mampu memenuhi semua keperluan rumah tangga.
Apa yang terjadi sekarang ? Berapa persenkah di negara kita ini dapat di-jumpai suami yang dapat memenuhi keperluan keluarga ?. Wanita umumnya yang bukan dari keluarga konglomerat, mempunyai tanggungjawab yang amat besar terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Jika gaji suami tidak cukup, isterilah yang wajib mencari tambahannya. Dari mana asalnya, jarang sekali suami mengurusnya (tidak mau tahu).
Mengapa wanita mau mengambil alih tanggungjawab suami di dalam keluarga ? Mungkin sekali kalau ditanya terlebih dahulu dan ada kesempatan untuk menjawab "tidak", wanita akan memilih jawaban tersebut. Namun yang terjadi di masyarakat tidaklah demikian. Wanita harus bertindak apapun de­ngan cara bagaimanapun untuk mengatasi semua kesulitan yang timbul dalam keluarga. Sebagai pasukan yang berada pada garis yang paling depan, ia tidak dapat melepaskan tanggung jawab begitu saja. Sebagai contoh sederhana, dapatkah seorang ibu diam tidak bertindak jika pada waktu memasak belum ada beras tersedia, padahal anak-anaknya pergi kesekolah dan suaminya pergi bekerja ? apa yang dilakukan oleh wanita ini mudah ditebak. la pergi mencari pinjaman.
Dengan contoh lain, suami enggan pergi mendatangi pertemuan kampung (desa) padahal ada undangan resmi dari kan­tor kelurahan. Dapatkah seorang ibu membiarkan keluarganya menerima teguran dari pihak yang berwajib? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu isteri tentu mengambil inisiatif, pergi mewakili suaminya mendatangi pertemuan. Hal yang sama juga terjadi untuk keperluan-keperluan sosial, misalnya menengok orang sakit, perhelatan di tetangga dan sebagainya.
Jika dilihat dari peristiwa-peristiwa tersebut, perlu kini diajukan per-tanyaan:
1. Dapat dibenarkankah tindakan yang diambil oleh is-teri-isteri tersebut ?
2. Dapat dibe­narkankah suami melepaskan tanggungjawab memenuhi keper-luan keluarga (dalam arti ekonomis) kepada isteri ?
3. Apakah sebabnya atau dengan latar belakang apakah sementara suami malas (tidak suka/tidak termotivasi) pergi mendatangi kegiatan sosial di kampung ?
4. Apakah benar gagasan sementara yang mengatakan bahwa suami bertindak pasif sebagai akibat isteri terlalu aktif mengambil bagian tanggungjawab se-hingga suami kurang/tidak diberi kesempatan?
5. Jika peristiwa pengambilalihan tanggungjawab tersebut terjadi karena kesa-lahan isteri yang tidak/kurang memberi kesempatan, dapatkah diadakan rehabi-litasi dengan mengembalikan tanggungjawab kepada suami ? Jika dapat, dari manakah harus dimulai atau bagaimanakah memulai ?
Masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijawab untuk menolong wa-nita-wanita yang nampaknya saat ini mempunyai tugas keluarga yang amat berat tetapi tidak dapat mengeluh, apalagi melepaskan diri.
C. MODERNISASI BAGI KEHIDUPAN WANITA
Sebelum kita membicarakan apa dampak modernisasi bagi kehidupan wanita, terlebih dahulu akan dikemukakan serba singkat mengenai apa "modern" itu, dan bagaimana pengertian "modernisasi" menurut yang dikenal secara ilmiah. Seorang ahli antropologi dari Harvard University, Cambridge bernama Alex Inkeles, mengadakan penelitian mendalam dan berhasil merumuskan pengertian "modern".
Istilah "moderen" itu sendiri mengkait pada banyak hal dan mempunyai banyak konotasi pula. Istilah tersebut bukan hanya untuk orang, tetapi juga untuk bangsa, sistem politik, ekonomi, kota, lembaga seperti sekolah atau rumah sakit, rumah tinggal, pakaian dan cara berperilaku. Salah satu analisis dalam studi ten-tang modernisasi memberikan tekanan pola-pola organisasi,dan analisis yang lain memberikan penekanan pada kebudayaan dan idealisasi.Pendekatan pertama memberi warna pada bagaimana melakukan pengorganisasian dan bertindak, sedang pendekatan yang kedua memberi warna pada cara berpikir dan perasaan. Atau dengan kata lain, yang pertama mengarah pada aspek-aspek sosiologi dan politik, sedangkan yang kedua pada sosiologi dan psikologi.
Pendekatan sosio-psikologik moderen mengutamakan pro­ses perubahan dalam menangkap atau memahami, mengekspresikan dan menilai. Dengan de-mikian maka moderen didefinisikan sebagai suatu kecenderungan individu dalam bertindak dengan cara-cara tertentu. Dengan batasan tersebut maka "moderen" tidak hanya terdapat dalam masyarakat industrialisasi, tetapi di dalam ma-syarakat primitifpun ada kemungkinan untuk bertindak moderen. Proses mo-dernisasi dapat lebih mengenai individu ataupun institusi. Kenyataan yang ada adalah bahwa akibat dari industrialisasi, telah mengakibatkan sesuatu yang tidak mungkin dielakkan yaitu berubahnya struktur or­ganisasi (keluarga, sosial, bu-daya dan kemasyarakatan), sekaligus individu.
Dengan adanya perubahan yang ada pada organisasi dan individu ter-sebut, peran wanita menjadi berubah pula. Dalam keberadaannya, peran wanita dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu peran terhadap atau peran mengenai dirinya sendiri, dan peran terhadap lingkungannya.
1. Peran mengenai dirinya sendiri berkenaan dengan tuntutan atau kebutuh-annya. Sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi, wanita dihadapkan pada berbagai produk kemajuan. Apabila orang-orang lain telah meman-faatkan adanya kemajuan, maka wanita mempunyai kebutuhan yang me-ningkat pula. Menurut Maslow, manusia mempunyai kebutuhan untuk bera-filiasi agar dapat diterima oleh kelompoknya. Manifestasi dari pemenuhan kebutuhan ini, wanita melakukan hal-hal yang dulu tidak pernah dilakukan, misalnya pergi ke salon kecantikan, membuat baju dengan model yang "in" dari waktu ke waktu, mengikuti kursus atau pendidikan tambahan, dan lain-lain tindakan yang berguna bagi dan untuk pemenuhan kebutuhannya. Pe-ngambilan peran tersebut mempunyai dampak positif maupun negatif bagi dirinya sendiri, dan kadang-kadang juga bagi orang lain.
2. Peran terhadap lingkungan yang diambil atau terpaksa ha­rus diambil karena orang-orang lain (terutama yang menjadi tanggungjawabnya) atau lingkung-annya menuntut diri wanita untuk melakukannya. Contohnya banyak, antara lain bila adik atau anaknya minta diantar ke shoping, (meskipun sebetulnya ia malas untuk itu), menghadiri pertemuan di kampung, berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti atau gotongroyong sampai diskusi ilmiah, dan seba-gainya yang alasannya demi kepentingan orang lain ataupun juga bagi kepentingan dirinya sendiri agar tidak mendapat nama tidak baik di ma-syarakat.
David A. Schultz mengatakan bahwa peran wanita dalam keluarga banyak disebabkan karena tuntutan faktor luar. Menurut ahli tersebut selanjutnya karena industrialisasi misalnya telah mengubah pola kebutuhan untuk ke-luarga (TV parabola, perabot model baru) dan kebutuhan individu dalam keluarga (alat transportasi, kosmetika, buku-buku dan sebagainya).
D. ALTERNATIF STRATEGI UNTUK MENGHADAPI MODERNISASI
Di dalam bukunya BELIEFS, ATTITUDES AND VALUES, Rokeach mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
"An attitude is relatively enduring organization of beliefs about an object or situation predisposing one to respond in some prefential manner. Attitude change would then be a change in predisposition, the change being either a change in the organizati­on or structure of beliefs or a change in the con­tent of one or more of the beliefs entering into the attitude organization" Rokeach, 1980; 135).
Apabila wanita setuju dengan pendapat Rokeach tersebut, dan apabila wa-nita menanggapi modernisasi secara positif, maka ia harus melandasi dirinya dengan pandangan moderen dan bersikap moderen. Menurut Alex Inkeles (1366, 141-144) manusia moderen adalah manusia yang memiliki ciri-ciri sbb:
1. Adanya kesediaan pada dirinya untuk menerima pengalaman baru serta ke-terbukaannya menerima inovasi (pembaharuan)dan perubahan.
2. Adanya kemauan untuk menggunakan informasi dalam lingkup luas untuk menyelesaikan multi masalah, disesuaikan dengan persoalan yang timbul bukan hanya dalam lingkungan dan waktu mendesak tetapi juga di luar itu. Orientasi pemikiran orang itu lebih demokratis.
3. Adanya pemikiran terhadap masa kini dan masa mendatang (berpikir untuk jangka panjang), bukan tercekam pada ma­sa 1alu. Dengan demikian manusia moderen ingin disiplin, mentaati jadwal, sesuatu yang pasti.
4. Manusia moderen bekerja menurut rencana (planning). Semakin moderen se-seorang maka orang tersebut akan semakin mencintai bakerja dengan peren-canaan dan pengorganisasian ide serta tindakan secara matang.
5. Efficacy. Manusia moderen percaya bahwa siapa saja mampu belajar, me-nguasai lingkungan agar mendukung dirinya da­lam mencapai tujuan. Dengan demikian cara berpikir orang moderen positivistik.
6. Manusia moderen percaya dan yakin bahwa orang-orang atau institusi yang ada di lingkungannya dapat diajak berpartitipasi bersamanya. Dengan demi-kian maka keberhasilan usaha bukan tergantung dari kualitas dan karakter seseorang, tetapi karena pendekatan yang digunakan oleh manusia untuk mengarahkan.
7. Manusia moderen adalah manusia yang menyadari akan martabat atau ke-dudukan, baik dirinya maupun orang lain, sehingga akan memberikan peng-hargaan yang sesuai dengannya.
8. Manusia moderen akan lebih percaya pada hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi.
9. Manusia moderen lebih menyadari akan keadilan pembagian. Dengan demi-kian manusia moderen akan bersedia menerima bahwa perolehan pembagian selalu disesuaikan dengan seberapa ia memberikan andil, bukan dari tinjauan lain.
Apabila wanita memiliki seluruh atau sebagian dari ciri-ciri manusia mo-deren yang disebutkan, maka mereka akan mampu menghadapi tantangan mo-dernisasi. Tindakan mereka akan sinkron dengan tuntutannya. Seperti dikemu-kakan oleh Manuel Kaisiepo di dalam semi­nar sehari di SOSPOL UGM, ciri pa-ling menonjol dari realitas dunia dewasa ini adalah akumulasi krisis-krisis global dalam segala bidang: sosial, ekonomi, politik, militer dan lain-lain. Tugas kita se-karang adalah mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor atau akar dari ber-bagai krisis tersebut. Tugas tersebut tentu tidak semudah membalikkan tangan.
Roy Amara di dalam Through The '80s mengatakan bahwa perubahan se-bagai akibat kemajuan teknologi tidak selalu diterima dengan positif oleh semua orang. Ketidakberdayaan (hopelessness) dan ketidakmampuan untuk ditolong (helplessness) seringkali melanda kita, terutama apabila perubahan yang muncul jauh atau tidak relevan dengan kebutuhan kita.
Wanita, yang berperan untuk dirinya sebagai diri, dan yang harus berpe-ran untuk orang-orang yang menjadi tanggung-jawabnya, harus dapat berpikir makro, global. Namun karena yang dihadapi masalah-masalah yang ada di seki-tarnya, yang berada dalam kungkungan lokal, menyesuaikan diri dengan ling-kungan, dengan cara dan orientasi moderen:
"To think globally; act locally, and perceive newly"
E. PENUTUP
Mengakhiri tulisan yang singkat ini dapat dikatakan bahwa, wanita telah rela atau setidak-tidaknya menerima status kewanitaan. Oleh karena itu wanita perlu mendasarkan diri dalam berbuat dan beraktifitas berdasarkan pada ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci sebagai tuntunan untuk bertindak.


DAFTAR ACUAN

Frank Feather (Ed), 1980, Through The '80s, Thinking Glo­bally, Acting Locally, Washington DC: World Future So­ciety.
Cakrawala Pendidikan, Majalah Ilmiah Kependidikan, Edisi Khusus, Th. IX, Mei 1990, Yogyakarta: Pusat Pengabdian pada Masyarakat, IKIP YOGYA-KARTA.
Etzioni Amitai,Etzioni Eva-Halevy (Ed), 1973,Social Cha-nge, Sources, Patterns, and Consequences,, Second Edition, New York: Basic Books, Inc.
Inkeles,Alex,1966, The Modernization of Man, Reprinted from MODERNIZATION Edited by Myron Wetner, New York: Basic Books, Inc., Publishers.
_______________, 1970, Becoming Modern, Reprinted from International Journal of Comparative Sociology, Volume II, Number 3, Leiden: E.J. Brill, Pub-lishers.
Manuel Kaisiepo, 1986, Pemuda dan Keprihatinan Universal,Menafsir Beberapa Krisis Global Dewasa ini, Makalah untuk Seminar "Peran serta Pemuda dalam Memperjuangkan Perdamaian dan Keadilan Internasional", SOSPOL Gadjah Mada, 20 Februari 1986.
Rokeach, Milton, 1980, Beliefs, Attitudes and Values, San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Schulz, David A., 1976, The Changing Family, Its Function and Future, Second Edition, Englewood Cliffs, New Jer­sey: Prentice-Hall,Inc.
Suharsimi Arikunto,1990, Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Jakarta: Rajawali Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar